https://www.elaeis.co

Berita / Nasional /

Pengusaha Sawit Kini Lebih Hati-hati Ikut Program Pemerintah, ini Sebabnya

Pengusaha Sawit Kini Lebih Hati-hati Ikut Program Pemerintah, ini Sebabnya

Para tersangka dalam kasus korupsi pemberian fasilitas ekspor crude palm oil atau CPO atau minyak goreng. foto: Dok. Kejagung


Jakarta, elaeis.co - 3 perusahaan raksasa sawit tersangkut kasus korupsi dan ditetapkan menjadi tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan minyak goreng. Masing-masing Wilmar Group, Permata Hijau Group, dan Musim Mas Group.

Pengungkapan kasus ini membuat para pengusaha sawit kini lebih berhati-hati. Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), Eddy Martono, mengatakan, kasus tersebut menjadi catatan serius bagi pelaku usaha di industri sawit, terutama dalam menyikapi program pemerintah yang melibatkan pengusaha swasta.

"Ke depan, perusahaan akan sangat berhati-hati agar masalah ini tidak terulang lagi. Artinya setiap ada kebijakan, perusahaan akan melihat dulu dampak ke depannya bagi mereka," kata Eddy, di Jakarta, Senin (18/9).

Menurutnya, pengusaha swasta bukan antipati terhadap program pemerintah, apalagi bila itu demi kepentingan masyarakat. Hanya saja, mereka akan lebih hati-hati terhadap risikonya bagi perusahaan. 

Artinya, sektor swasta tidak akan cepat mengeksekusi program yang dijalankan pemerintah sebelum dampaknya benar-benar dikaji.

"Apabila ada keraguan, seperti misalnya, cepat berubah-ubah atau menimbulkan risiko, perusahaan akan diskusi dulu dengan pemerintah. Artinya implementasinya tidak bisa cepat karena sikap kehati-hatian," tegasnya.

Soal kebijakan pengendalian harga minyak goreng yang menyeret 3 perusahaan swasta, sebelumnya hasil kajian yang dilakukan Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) menyebutkan bahwa kebijakan pengendalian harga minyak goreng sudah salah sasaran sejak awal.

"Konsumsi minyak goreng rumah tangga 61% merupakan minyak curah, namun kebijakan yang dilakukan adalah subsidi pada minyak kemasan. Di sisi lain, infrastruktur untuk pelaksanaan subsidi minyak goreng kemasan dianggap lebih baik dibandingkan infrastruktur minyak goreng curah," kata Peneliti Indef, Rusli Abdullah. 

Dia menilai, kebijakan subsidi tersebut pada akhirnya memunculkan panic buying pada pasar ritel modern akibat respons penurunan harga yang lebih cepat dibandingkan di pasar tradisional.

Padahal, kapasitas pasar ritel modern hanya bisa memenuhi kapasitas konsumsi nasional sekitar 10% dari kebutuhan rumah tangga sebesar 3,9 juta kilo liter per tahun atau 325 juta liter per bulan.

Artinya, pasar ritel modern dengan jaringan distributornya hanya mampu menyediakan sekitar 325 ribu liter per bulan atau 3,9 juta liter per tahun. Faktanya, 61% atau 2,4 juta kilo liter per tahun kebutuhan minyak goreng ada di jenis minyak goreng curah.

Kajian INDEF itu sejalan dengan temuan Ombudsman Republik Indonesia. Anggota Ombudsman, Yeka Hendra Fatika mengatakan, penanganan perkara ini tak bisa hanya dilihat dari satu sisi. Ia menyoroti soal strategi pengendalian harga minyak goreng yang semuanya digerakkan berdasarkan aturan yang dibuat pemerintah.

"Di dalam Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan (LAHP) kan sudah jelas jawaban Ombudsman terkait masalah ini. Pangkal mula dari persoalan ini adalah ketidakmampuan Kemendag dalam memitigasi dampak kenaikan harga CPO," kata Yeka.

Ia juga menyinggung kerap bergantinya kebijakan pemerintah kala itu dalam rangka mengendalikan harga minyak goreng yang justru berpotensi menimbulkan kebingungan di tingkat pelaksanaan.

"Banyak peraturan menteri yang diterbitkan dalam kurun waktu yang relatif sangat singkat untuk mengendalikan permasalahan minyak goreng, namun tidak mampu mengatasi permasalahan minyak goreng yang dihadapi dalam waktu cepat. Sehingga menimbulkan kerugian pelaku usaha dan masyarakat," pungkasnya.


 

Komentar Via Facebook :