Berita / Iptek /
Peneliti BRIN Kembangkan Reaktor Delignifikasi, Ubah Tankos Sawit Jadi Bioetanol G2
Roni Maryana menyampaikan orasi pada pengukuhan profesor riset BRIN. foto: Humas
Jakarta, elaeis.co – Pemerintah menetapkan kebijakan energi nasional (KEN) melalui Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 yang menargetkan pencapaian EBT sebesar 23% dari bauran energi nasional pada tahun 2025 atau 31% pada tahun 2050. Regulasi ini diharapkan bisa mengatasi tantangan pengurangan pemakaian energi fosil dan mewujudkan kemandirian energi baru dan terbarukan (EBT) yang lebih ramah lingkungan.
Hingga akhir 2024, Indonesia baru mencapai 14,1% dari target 23% EBT yang ditetapkan. Roni Maryana, Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Kimia, Organisasi Riset Nanoteknologi dan Material, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) lantas menyodorkan pemanfaatan biomassa lignoselulosa seperti limbah kelapa sawit yang melimpah di negeri ini sebagai alternatif solusi untuk mengebut pencapaian target tersebut.
Hal ini disampaikannya dalam Orasi Pengukuhan Profesor Riset Bidang Teknologi Konversi Biomassa dan Biopolimer yang dilaksanakan di Auditorium Sumitro Djojohadikusumo, Gedung B.J. Habibie Jakarta.
Pria kelahiran Ciamis 46 tahun lalu dan dikaruniai tiga orang anak ini, secara nasional merupakan Profesor Riset ke-693 dan Profesor Riset ke-70 di BRIN. Gelar doktor diperolehnya dalam bidang bioresource engineering dari University of Tsukuba Jepang pada tahun 2017.
Dalam paparan orasinya yang berjudul Inovasi Teknologi Konversi Biomassa Lignoselulosa Sebagai Sumber Energi Terbarukan dan Bahan Kimia Berkelanjutan, Roni menyoroti pentingnya kemandirian energi dan bahan kimia nasional.
"Indonesia masih bergantung pada bahan kimia impor senilai ratusan juta dolar. Dengan memanfaatkan biomassa lokal, kita bisa mengurangi ketergantungan dan menciptakan nilai tambah industri baru yang hijau dan berkelanjutan,” katanya dalam rilis Humas BRIN dikutip Senin (7/7).
Indonesia memiliki potensi biomassa sangat besar, khususnya dari limbah perkebunan kelapa sawit seperti tandan kosong (tankos) kelapa sawit. Dalam paparannya, peneliti pemegang 15 paten ini menjelaskan bahwa biomassa jenis ini dapat dikonversi menjadi bioetanol generasi ke-2 (G2) yang tidak bersaing dengan bahan pangan.
Sayangnya, menurut Roni, bioetanol G2 belum dikomersialisasikan di Indonesia. Padahal potensi integrasi bioetanol G1 dan G2 dari kelapa sawit dan tebu sangat besar. Teknologi konversi biomassa ini menurutnya sangat mendukung KEN dan Perpres No. 40/2023 khususnya tentang percepatan penyediaan bioetanol sebagai bahan bakar nabati (biofuel).
Ia kemudian mengungkapkan potensi TKKS di Indonesia sebagai bahan baku bioetanol. “Dengan luasan perkebunan kelapa sawit di Indonesia saat ini, diperkirakan dapat menghasilkan limbah kelapa sawit mencapai 50 juta ton per tahun. Biomassa sebesar itu dapat menghasilkan lebih dari 1,6 juta ton bioetanol,” ungkapnya.
Lebih jauh ia menjelaskan, riset dan inovasinya fokus pada pengembangan reaktor delignifikasi, yaitu teknologi pemisahan lignin dari selulosa untuk meningkatkan efisiensi konversi. Dua teknologi yang dikembangkan bersama timnya di BRIN yaitu reaktor portabel skala laboratorium untuk eksperimen paralel dan screw continuous reactor (SCR) skala pilot yang memungkinkan pemrosesan biomassa secara kontinu dengan efisiensi tinggi dan lebih ramah lingkungan.
Ia berharap, teknologi yang dikembangkannya bersama tim dapat mendukung transisi energi bersih dan ekonomi sirkular di Indonesia. “Dari laboratorium hingga ladang sawit, inovasi konversi biomassa kini menjadi harapan baru dalam mewujudkan Indonesia yang mandiri energi bersih dan berkelanjutan,” pungkasnya.







Komentar Via Facebook :