https://www.elaeis.co

Berita / Bisnis /

Penasaran Bagaimana Kontribusi Industri Sawit bagi Perekonomian ? Ini Gambarannya

Penasaran Bagaimana Kontribusi Industri Sawit bagi Perekonomian ? Ini Gambarannya

Ilustrasi kebun sawit (gimni.org)


Jakarta, Elaeis.co - Keberadaan industri sawit dinilai strategis bagi perekonomian nasional. Industri sawit juga dinilai mampu membangun ketahanan pangan dan kedaulatan energi, dan saat ini terus didorong untuk mengembangkan hilirisasi guna mendongkrak peningkatan kegiatan perekonomian dalam negeri.

Hingga saat ini perkebunan kelapa sawit dan pabrik kelapa sawit telah tersebar di lebih dari 200 kabupaten di Indonesia. Produksi minyak sawit mentah (CPO), minyak sawit inti (PKO), dan biomass telah menjadi penopang perekonomian bagi daerah-daerah sentra industri sawit tersebut.

Sektor hilir sawit pun berkembang dengan produk olahan, baik produk setengah jadi maupun produk jadi. Termasuk di dalamnya, industri oleo pangan, industri oleokimia, biolubrikan, biofarmasi, dan bioenergi (biodiesel, biopremium, bioavtur).

Industri sawit juga mampu menghidupkan sektor jasa lainnya. Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Kanya Lakhsmi Sidarta mengatakan, saat ini produk turunan sawit sudah merambah ke bidang makanan, kecantikan, obat-obatan atau nutrisi kesehatan, kebersihan, bahkan energi untuk bahan bakar hingga listrik. Selain dapat diolah menjadi bahan bakar diesel, dalam pengembangan lebih lanjut juga dapat diolah menjadi bensin dan avtur. Saat ini, 70 persen dari total produksi per tahun CPO Indonesia dan turunannya diekspor untuk kebutuhan global.

"Lebih 50 persen dari ekspor itu digunakan masyarakat internasional untuk kebutuhan pangan, sisanya digunakan sebagai bahan baku kosmetik dan produk kecantikan, obat-obatan, pembersih, dan lain sebagainya, bahkan juga untuk kebutuhan biofuel di negara lain,” kata Kanya, seperti dikutip Bisnis.com kemarin.

Di kesempatan lain, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, industri kelapa sawit menyumbang lebih dari 14% dari total penerimaan devisa ekspor nonmigas. Kelapa sawit juga digunakan oleh pemerintah untuk mengurangi ketergantungan pada impor minyak melalui program biodiesel.

Industri sawit juga telah membuka lapangan pekerjaan yang cukup banyak. Lebih dari 16 juta orang bekerja di industri sawit, yakni 4,2 juta tenaga kerja langsung, dan 12 juta tenaga kerja tidak langsung. Selain itu, juga ada lapangan pekerjaan yang terkait, yakni ada sekitar 2,4 juta petani sawit swadaya yang melibatkan sekitar 4,6 juta pekerja. Industri sawit tidak terdampak pandemi yang mengakibatkan pemutusan hubungan kerja (PHK).

Indonesia juga bisa membangun kedaulatan energi lewat industri sawit. Indonesia telah mengembangkan energi substitusi terbarukan (renewable energy) sejak beberapa tahun lalu melalui kebijakan mandatori biodiesel sawit yang saat ini telah menjadi B30. Melalui kebijakan mandatori B15 (2015) dan B20 (2016), Indonesia mampu menurunkan BBM impor yang secara otomatis menghemat devisa impor.

Pada 2015 setidaknya terjadi penghematan sebesar USD 5,6 miliar. Sedangkan, pada 2020 berdasarkan data Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi), tercatat volume biodiesel yang terserap untuk program B30 mencapai 8,4 juta kiloliter. Artinya, terdapat penghematan devisa impor solar fosil sebesar USD 2,66 miliar dengan menggunakan harga rata-rata MOPS (Mean of Platts Singapore) solar sebesar USD 50 per barel.

Terkait membangun ketahanan pangan, belakangan ini para pelaku usaha di sektor sawit yang tergabung dalam GAPKI telah mengembangkan tanaman sela berupa sorgum di lahan sawit yang dalam masa peremajaan (replanting). Selain memiliki nilai ekonomi, sorgum memberikan manfaat bagi tanaman sawit karena kandungan fungi mikoriza arbuscula (FMA), yakni sebagai makanan bagi trichoderma atau musuh alami ganoderma yang merusak tanaman sawit.

Deputi II Bidang Pangan dan Agribisnis, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Musdhalifah Machmud menegaskan ekspor produk hilir sawit Indonesia sudah jauh lebih besar dari produk hulu. Jika pada 2006, ekspor hulu masih sekitar 60–70%, saat ini ekspor produk hilir justru mencapai 60–70% dan produk hulu hanya sekitar 30%–40%.

“Kita mendorong supaya investasi bukan hanya di hulu tetapi juga di hilir untuk menjaga daya saing produk. Kita harus perluas diversifikasi sawit sebagai bahan industri seperti farmasi, pangan, juga untuk keperluan sehari-hari seperti sabun, lilin, makanan juga pakai kelapa sawit,” ungkapnya.

Terkait besarnya potensi komoditas sawit, pemerintah tengah berupaya mengubah posisi Indonesia dari raja CPO menjadi raja hilir sawit pada 2045 mendatang. Sejak beberapa tahun terakhir pemerintah telah menggelar berbagai kebijakan dalam rangka mendorong percepatan hilirisasi industri sawit nasional, diantaranya kebijakan insentif pajak, pengembangan kawasan industri integrasi industri hilir sawit dengan fasilitas/jasa pelabuhan, kebijakan bea keluar dan pungutan ekspor, serta kebijakan mandatori biodiesel untuk substitusi solar impor.

Salah satu produk turunan sawit yang cukup diperhitungkan yakni oleochemical (oleokimia). Menurut Asosiasi Produsen Oleochemical Indonesia (Apolin), kapasitas produksi industri oleokimia berbasis sawit RI merupakan yang terbesar di dunia dengan kapasitas produksi mencapai 23,3 juta ton per tahun. Rinciannya 12 juta ton untuk produksi fatty acid methyl ester (FAME) atau yang dikenal saat ini sebagai biodiesel, dan sisanya berupa produk lain seperti methyl ester, glycerin, dan soap noodle.

Direktur Jenderal Pengembangan Ekspor Kementerian Perdagangan, Kasan Muhri mengungkapkan, sawit telah memainkan peran penting dalam neraca dagang sebagai komoditas non migas. Menurutnya, kontribusi ekspor tersebut memiliki kesinambungan karena diversifikasi produk turunan. “Minyak sawit dan turunannya adalah salah satu kontributor terbesar terhadap ekspor, khususnya non migas. Sekarang 70 persen lebih produk turunan yang diekspor,” katanya.

BACA BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Komentar Via Facebook :