https://www.elaeis.co

Berita / Iptek /

Pembuktian Dari Sudut Katamso #3

Pembuktian Dari Sudut Katamso #3


Ansori sendiri tak pernah menyangka kalau B50 ini akan muncul lagi. Sebab pada tahun 2007, dia bersama tim nya di PPKS sudah pernah membikin produk ini dan bahkan B100. Malah, B100 pernah berbulan-bulan dicekoki sebagai bahan bakar jonder pengangkut sampah di komplek PPKS itu. Lalu B50 pernah pula dibikin sebagai bahan bakar kendaraan pribadi untuk keliling Medan.

"Dari tahun �90an kami sudah membikin biodiesel murni di sini. Kami bisa menghasilkan sekitar 3300 liter biodiesel dalam sehari. Lalu tahun 2004 kami sudah lakukan road test B10 Medan-Bandar Lampung. Waktu itu pakai kendaraan niaga dan penumpang. Setahun kemudian kami road test lagi Medan-Jakarta pakai Inova keluaran terbaru. Dua road test ini pulang pergi," cerita Ansori sambil melongok pabrik biodiesel sederhana di lahan seluas 25x7 meter di sisi Barat komplek PPKS itu.   

Pabrik itu sempat �tidur� beberapa tahun persis setelah Ansori terbang ke Jepang untuk pendidikan doktor. "Saat saya kembali ke Indonesia akhir tahun 2018, Direktur PPKS Hasril Hasan Siregar menanyai saya apa bisa B50 dibikin lagi. Saya bilang bisa," cerita Ansori.

Dapat jawaban seperti itu, Hasril meminta Ansori untuk mengaktifkan kembali pabrik yang sempat �tidur� tadi. Lalu Holding PT Perkebunan Nusantara dan Litbang Kementerian Pertanian dihubungi untuk sebuah kerja sama. Dan hanya butuh waktu beberapa hari, Ansori sudah rampung menyiapkan B50 itu.

"Menyiapkan B50 itu enggak susah. Tinggal mencampur-campur saja kok. Sebab biodiesel yang kita hasilkan kan tetap yang 100 persen. Kalau kita mau bikin B50, kita tinggal mencampur biodiesel murni itu dengan 50 persen solar murni. Sederhana kok," katanya.   

Secara Standar Nasional Indonesia (SNI), Cetane Number --- kualitas bahan bakar diesel --- B50 yang dihasilkan oleh PPKS sudah sangat memenuhi standar lantaran sarat SNI yang dibutuhkan minimal 51, sementara B50 yang dihasilkan PPKS SNI nya sudah 60. Lalu untuk B100 sendiri, CN nya mencapai 62. "Kalau solar pertamina CN nya masih antara 48-51," kata Ansori.

Terus untuk Fatty Acid Methyl Ester (FAME), SNI mensyaratkan 96,5 persen massa, sementara B50 bisa sampai 99 persen massa. "Lalu Monogliserida yang disyaratkan SNI maksimal 0,8 persen massa. Kita bisa dapatkan pada 0,6 sampai 0,7," Ansori merinci.  

Lantas apa dan seperti apa cara membikin biodiesel ini? Satu liter Crude Palm Oil (CPO) kata Ansori bisa menghasilkan 1,05 liter biodiesel plus 10 persen gliserol. 

Gliserol ini punya nilai ekonomis tinggi lantaran salah satu fungsinya adalah sebagai bahan dasar peledak. "Biaya yang kita butuhkan untuk menghasilkan seliter biodiesel antara Rp2000-Rp3000. Angka ini diluar harga satu liter CPO," ujarnya.

Di pabrik mini yang ada di belakang perkantoran PPKS tadi, ada sederet tanki-tanki yang dibikin untuk menghasilkan biodiesel ini. 

Sederhananya, ada dua tanki yang dijadikan sebagai pencampur antara CPO murni dan bahan kimia lain. Dari tanki itu kemudian disalurkan ke tanki pembilas. Dari tanki pembilas ke tanki pengering air. Sebab biodiesel tak boleh ada air. Begitu cara kerja sederhananya. 

Nah, kalau kemudian pemerintah berniat memproduksi B50 secara massal kata Ansori, maka CPO yang dibutuhkan pertahun mencapai 15 juta ton. "Perhitungan ini kita bikin berdasarkan kebutuhan B20 yang rata-rata 6 juta ton pertahun. Secara ketersediaan bahan baku, sebenar nya kita sangat aman," katanya.

Dan sebagai penghasil CPO terbesar dari 22 provinsi penghasil di Indonesia, Riau menaruh harapan besar supaya pemerintah melakukan mandatory terhadap B50 ini. 

Sebab dalam setahun Riau menghasilkan sekitar 7 juta ton CPO. Kalau B50 itu bisa terealisasi, otomatis ini akan sangat berdampak positif terhadap ekonomi petani kelapa sawit. 

Soalnya dari 4,4 juta hektar kebun kelapa sawit di Riau, lebih dari separuh adalah milik petani swadaya. Selain menguntungkan petani, kehadiran B50 ini tentu akan sangat berdampak pada ketahanan energi dan harga diri bangsa. 

Hanya saja oleh hitung-hitungan azaz keseimbangan antara konsumsi pangan dan konsumsi energy, peluang B50 ini untuk bisa diproduksi massal baru ada pada tahun 2023. 

"Itupun baru hanya untuk konsumsi alat transportasi. Lagi-lagi saya katakan ini juga bisa terjadi jika situasi berjalan normal. Artinya normalnya keadaan antara ekspor, konsumsi pangan dan energy. Sebab semuanya tidak bisa serta merta. Enggak bisa langsung loncat. Beda kalau pemerintah memutus beberapa negara tujuan CPO. Berarti CPO yang tadinya diekspor, bisa dipakai untuk biodiesel," terang Ratnawaty.

Ratna kemudian menyodorkan data bahwa konsumsi B20 tahun 2018 mencapai 4,2 juta ton. Lalu jika tahun ini dibikin B30, maka kebutuhan konsumsi mencapai 4,85 juta ton. Dan apabila tahun 2020 dibikin B35, maka kebutuhan mencapai 5,94 juta ton.

*****

BACA BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Komentar Via Facebook :

Berita Terkait :