https://www.elaeis.co

Berita / Pojok /

Pelajaran Dari Perjalanan Panjang Pekebun Sawit Indonesia

Pelajaran Dari Perjalanan Panjang Pekebun Sawit Indonesia

Diana (kanan) saat bersama tim di perkebunan kelapa sawit di Desa Silau Jawa, Mandoge, Asahan, Sumatera Utara. foto: dok. pribadi


Sawit semakin mendominasi bentang alam bumi tercinta.  Dengan luas yang melonjak tajam dari hanya 300 ribuan hektar di tahun 80an menjadi 16 jutaan hektar di 4 dekade berikutnya, timbul pertanyaan mengapa hal itu bisa terjadi? 
 
Hal yang menarik adalah perkembangan signifikan itu tidak melulu diisi oleh perusahaan sawit berskala besar. Perkebunan rakyat dengan kepemilikan sekitar 2 hektaran per keluarga,  berdampingan gagah dengan perusahaan yang kepemilikan lahannya ratusan ribu hektar. 

Sawit juga tidak ujug-ujug besar dan tidak melaluinya dengan melangkah mulus bak model di catwalknya Paris Fashion Week, walaupun perhatian Perancis dan dunia tidak kalah antusiasnya. Apakah ini menunjukkan bayang-bayang gambaran korporasi petani?  Atau ini menunjukkan sistem agribisnis yang sustainable dan inklusif? 

Ada beberapa hal menarik yang jarang terungkap. Ketika sawit rakyat swadaya mulai berkembang secara agak liar selama siklus 25 tahunan pertama, hampir semuanya menggunakan bibit Mariles.  Bibit buangan yang hanya bisa memberikan produktivitas maksimum 70%-80% dari produktivitas potensial bibit legitimatenya. Bibit yang cangkangnya lebih besar daripada bagian yang akan menghasilkan Crude Palm Oil (CPO) nya. 

Kalau dikalikan dengan total luas lahan 4-5jutaan hektar lahan perkebunan rakyat, maka dampak dari rendahnya produktivitas tersebut tidak lagi hanya menjadi masalah keluarga Pak Saring, pekebun sawit dari Siak, Riau, bahkan juga bukan hanya masalah 3 jutaan pekebun sawit di Indonesia, tetapi juga menjadi masalah nasional negara Indonesia yang menerima devisa terbesar dari sawit. 

Pemerintah Indonesia dan dunia industri menyadari hal itu, termasuk setelah adanya “berjuta” diskusi daring dan luring. Dan kenyataan bahwa sudah ada 20an perusahaan bibit sawit, menjadikan diskusi panjang itu sebenarnya telah dapat menjadi program real untuk mengatasinya. Termasuk kaitannya dengan momen replanting atau Peremajaan (perkebunan) Sawit Rakyat (PSR) telah menjadi program nasional. 

Bandingkan dengan Salak yang menjadi ‘icon’ Sidempuan sejak ratusan tahun, yang juga masih tanaman dalam keluarga Palmae seperti sawit. Tidak satupun sudah direplanting, walaupun produktivitasnya rata-rata hanya mencapai 20% dari produktivitas salak rata-rata Sumut dengan rasa sepat dan asamnya yang semakin merata.  

Hal lain yang membedakan adalah dukungan infrastruktur yang luar biasa. Sawit tidak cukup dikembangkan di dekat rumah dengan lahan 1-2 ‘rante’, tetapi perlu berhektar-hektar sehingga perlu dikembangkan di pedalaman yang belum ada jalan dan listriknya. Ketika program pembangunan jalan dan listrik Pemerintah belum menjangkau ke pelosok tersebut, perusahaan-perusahaan yang melihat potensi untungnya yang sedemikian besar, dengan berani mengambil alih investasi tersebut.  

Bandingkan dengan padi yang jadi makanan pokok masyarakat Indonesia, komoditi strategis dan menjadi program prioritas Kementerian Pertanian dari setiap periode pemerintahan, itupun masih menghadapi masalah pengairan dan irigasi masih terjadi dimana-mana.  Sampai petani padi beramai-ramai terpaksa mengganti hamparan padinya beratus hektar dengan komoditi lain yang dapat lebih bertahan hidup dalam kondisi minim pengairan. 

Tentu saja hubungan erat pekebun sawit dengan investor dan perusahaan tidak selalu manis. Tandan Buah Segar hasil panen pekebun tidak bisa dibiarkan lebih dari 24 jam, dan harus diolah di Pabrik Kelapa Sawit milik perusahaan.  Sebaliknya, perusahaan tidak bisa lagi mendapatkan lahan baru untuk menambah keuntungan dari permintaan minyak sawit yang terus meningkat.  Namun hubungan erat, intensif dan saling membutuhkan itu, terus berjalan dengan cinta dan kebencian yang silih berganti bahkan kadang saling bercampur. Kenyataannya hubungan tersebut sudah hampir mencapai perkawinan emasnya. 

Hal lain yang juga membedakan adalah inklusivitas pekebun sawit di pasar dunia. TBS Pak Saring di Siak, Riau menjadi bahan baku utama Nutella yang diproduksi di Italia dan perlu tersertifikasi supaya bisa terus dipasarkan di seluruh dunia. Sertifikasi akan menunjukkan bahwa produk yang dihasilkan telah memenuhi manajemen berkelanjutan dari seluruh aspek sosial ekonomi dan lingkungan.  Hal yang tidak mudah dipenuhi bahkan oleh perusahaan besar sekalipun. 

Untuk mensertifikasi perkebunan sawit rakyat seluruh pihak dengan sepenuh hati dan marathon mendampingi Pak Saring dan teman-temannya agar dapat memenuhi seluruh prinsip dan kriteria (P&C) dalam sertifikasi tersebut. Dari mulai penyusunan dokumen yang sepenuh lemari sampai menyediakan biaya yang bisa mencapai Rp 300an juta sampai Rp 500an juta per kelompok pengajuan.  

Sementara petani kopi Sumatra, yang lukisannya terpampang di dinding toko Starbuck pertama di Pike Place Seattle terpaksa tidak meneruskan sertifikasinya karena kekurangan biaya dan akses untuk mendapatkan harga premium. 

Seluruh cerita ini memang bukan dongeng 1001 malam. Perlu hampir 100 tahun untuk mewujudkannya. Tapi seharusnya komoditi lain tidak perlu membuka jalan baru dan memerlukan 100 tahun lagi untuk mencapai industri yang sustainable dan inklusif juga.  Perjalanan panjang sawit untuk menuju “korporasi petani”, untuk tetap sustainable bisa dijadikan lesson learnt dan mungkin semacam model bagi komoditi lain untuk berkembang menjadi suatu sistem agribisnis yang inklusif.


Diana Chalil 
Founder and Leader Corsortium Studies on Smallholder Palm Oil (CSSPO).

CSSPO beranggotakan Universitas Sumatera Utara, Universitas Jambi, Universitas Malikussaleh,  Universiti Putra Malaysia, Prince of Songkla University.



 
 

BACA BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Komentar Via Facebook :