Berita / Sumatera /
Pekebun Sawit Tesso Nilo Tolak Hengkang, Pemerintah Dituduh Pilih Kasih dengan HTI
Pekanbaru, elaeis.co – Suasana di Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) sejak Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH) turun lapangan pada 10 Juni 2025, berubah tegang. Spanduk-spanduk protes terpasang di sepanjang jalan tanah, sementara patroli petugas mengawasi aktivitas warga dari jarak jauh.
Bagi ribuan pekebun sawit yang menetap di wilayah ini selama lebih dari 20 tahun, operasi Satgas bukan sekadar penertiban. Ini adalah ancaman nyata terhadap mata pencaharian dan kehidupan yang mereka bangun sejak lama.
“Kami tidak menolak pelestarian hutan, tapi keadilan harus berlaku merata,” ujar Abdul Aziz, juru bicara warga TNTN, saat membuka pertemuan di bawah tenda yang lembap oleh embun pagi.
Konflik antara warga dan pemerintah di TNTN sebenarnya sudah berlangsung lama. Sejak penetapan TNTN sebagai taman nasional pada 2004, batas wilayah yang jelas tidak pernah ditegakkan. Ribuan pendatang dari berbagai kabupaten memanfaatkan “zona abu-abu” ini untuk menanam sawit.
Lonjakan harga sawit di awal 2010-an mempercepat ekspansi lahan rakyat. TNTN, yang sebelumnya dikenal sebagai kantong gajah terbesar di Sumatra, kini berubah menjadi hamparan kebun sawit rakyat yang saling berselingan.
Sementara itu, perusahaan-perusahaan hutan tanaman industri (HTI) justru terus memperoleh konsesi di sekitar TNTN. Lahan mereka mencapai ratusan ribu hektare, sebagian masih berstatus SK penunjukan tanpa penetapan batas final.
Inilah yang memicu ketegangan. Warga menilai keberadaan mereka terus menjadi sasaran, sementara 13 perusahaan HTI yang menguasai ratusan ribu hektare, nyaris tak tersentuh hukum.
“Tiga belas perusahaan itu menguasai 153 ribu hektare, sementara 35 ribu warga hanya mengelola 40 ribu hektare. Tapi yang ditertibkan cuma masyarakat,” kata Aziz, sambil menatap lingkaran warga yang mengangguk setuju.
Dalam operasi PKH, beberapa kebun warga diberi tanda cat merah, sebagai penanda area yang wajib dikosongkan. Namun warga menolak. Mereka menuntut pemerintah meninjau dulu legalitas dan aktivitas perusahaan HTI yang mengelilingi TNTN.
Daftar perusahaan yang menjadi sorotan warga termasuk PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP/APRIL), PT Arara Abadi, PT Nusa Wana Raya, PT Siak Raya Timber, hingga PT Inti Indosawit Subur. Konsesi mereka berdampingan langsung dengan TNTN dan beberapa bahkan berada di koridor gajah, yang kini semakin sempit.
“Negara seolah menutup mata pada perusahaan besar, tapi menekan masyarakat kecil,” ujar seorang warga yang enggan disebut identitasnya.
Dari udara, terlihat hutan alami yang tersisa terfragmentasi menjadi blok-blok panjang, diapit kebun sawit rakyat dan tanaman akasia perusahaan. Kondisi ini memperlihatkan dampak nyata ketimpangan pengelolaan lahan di TNTN.
“Jika pemerintah benar-benar serius menyelamatkan TNTN, tindakan harus dimulai dari pihak yang memberikan dampak terbesar, bukan menekan rakyat kecil,” tegas Aziz.
Sikap pilih kasih pemerintah ini memicu kekecewaan mendalam. Warga menilai operasi Satgas PKH tidak hanya mengancam kehidupan mereka, tetapi juga memperkuat dominasi perusahaan HTI yang kebal hukum.
Dengan ketegangan yang kian memuncak, warga TNTN menegaskan satu sikap: mereka tidak akan hengkang sebelum negara menegakkan aturan secara adil dan transparan.







Komentar Via Facebook :