https://www.elaeis.co

Berita / Lingkungan /

Pasang Patok Batas di lahan Warga Pemayungan Yang Sudah di Kelola Bertahun-tahun, PT ABT : Itu Sudah Kewajiban Sebagai Pemegang Konsesi

Pasang Patok Batas di lahan Warga Pemayungan Yang Sudah di Kelola Bertahun-tahun, PT ABT : Itu Sudah Kewajiban Sebagai Pemegang Konsesi

Batang-batang beton PT ABT yang diletakkan dipekarangan Kantor Desa Pemayungan, Foto:Ist


Jambi,elaeis.co - Lebih dari 1.000 kepala keluarga yang tersebar di enam rukun tetangga di Desa Pemayungan, Kecamatan Sumay, Kabupaten Tebo, Provinsi Jambi, kini dilanda keresahan setelah kabar mengenai pemasangan patok batas oleh PT Alam Bukit Tigapuluh (ABT) beredar. Para warga khawatir tanah dan kebun yang telah mereka usahai selama bertahun-tahun akan terambil.

Keresahan warga semakin meningkat setelah beredar kabar bahwa pemasangan patok tersebut akan melibatkan aparat non-sipil. Selain itu, ada juga kekhawatiran bahwa warga yang mencoba menghalangi pemasangan patok akan menghadapi proses hukum.

Masalah ini bukanlah kali pertama terjadi antara masyarakat Pemayungan dan PT ABT. Konflik serupa sudah terjadi sebelumnya, mulai dari penangkapan tiga warga yang dituduh merambah kawasan hutan, seorang warga yang terluka akibat dipukuli petugas keamanan perusahaan, hingga ancaman dengan senjata api terhadap dua warga.

Sepekan terakhir, warga kembali dibikin kesal lantaran perusahaan tiba-tiba membawa batang-batang beton berdiameter 10 sentimeter dan panjang 130 sentimeter ke pekarangan kantor desa. Sebagian batang beton tersebut bahkan langsung dibawa ke lahan-lahan warga dan dipasangi patok batas.

Selain itu, sejumlah warga mengeluhkan bahwa lahan dan kebun mereka yang tercatat dalam SK Data dan Inventarisasi (Datin) Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk menjalani skema ultimum remedium UUCK (Undang-Undang Cipta Kerja) tetap dipasangi patok oleh perusahaan.

Camat Sumay, Ambiar, membenarkan bahwa pemasangan patok batas tersebut akan dilakukan. Ia mengungkapkan bahwa pihaknya telah mengundang masyarakat untuk berkumpul di Kantor Desa Pemayungan guna menjelaskan tujuan pemasangan patok tersebut. “Patok-patok ini akan dipasang sesuai dengan peta areal kerja perusahaan,” kata Ambiar pada Senin, (2/12) lalu. 

Ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Desa Pemayungan, Islahamdan, dalam konferensi pers yang digelar di lantai dua kantor WALHI Provinsi Jambi mengatakan bahwa cara-cara yang diambil oleh PT ABT menimbulkan keresahan serius bagi masyarakat Desa Pemayungan.

“Lahan warga telah dipasangi patok oleh perusahaan. Yang semakin memperburuk keadaan, perusahaan memanfaatkan oknum pegawai kehutanan untuk menakut-nakuti warga dengan menyebut bahwa apa yang dilakukan oleh perusahaan adalah atas perintah Presiden Prabowo,” ujarnya, Rabu (11/12).

Masalah ini bermula dari pemberian izin konsesi oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) kepada PT ABT, yang mengelola kawasan hutan seluas 38.665 hektar di Kabupaten Tebo. Izin tersebut diterbitkan melalui Surat Keputusan (SK) Nomor 7/1/IUPHHK-HA/PMDN/2015 pada 24 Juli 2015, yang membagi konsesi menjadi dua blok, salah satunya terletak di Pemayungan dengan luas 16.570 hektar.

Sejak dikeluarkannya SK tersebut, perusahaan yang disebut-sebut milik Yayasan World Wide Fund (WWF) Indonesia dan didanai oleh Kreditanstalt für Wiederaufbau (KfW) Jerman ini, telah menimbulkan ketegangan dengan masyarakat setempat, bahkan sejak setahun setelah izin tersebut diterbitkan.

Sementara itu, Netty Riana selaku juru bicara PT ABT  menjelaskan kepada elaeis.co bahwa pengelolaan kawasan yang mereka kelola bertujuan untuk mendukung kesejahteraan masyarakat dan kelestarian lingkungan. Hutan yang dikelola ABT, menurutnya, merupakan bagian dari Kawasan Bukit Tigapuluh, zona penyangga Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT), serta Daerah Aliran Sungai Batang Hari yang sangat penting bagi masyarakat Jambi.

“Sebagai pengelola konsesi, ABT wajib melakukan pengukuran dan penataan batas areal kerja kami sesuai instruksi dari Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH),” kata Netty pada Senin, (16/12)

Proses ini, lanjutnya, telah dimulai sejak 2016, dan penataan batas pada Blok 1 telah selesai pada 2017.

Sementara itu, Feri Irawan, Kepala KPHP Tebo Barat Unit IX, menjelaskan bahwa Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan peraturan turunannya, pengelolaan hutan negara di Indonesia memerlukan izin resmi dari pemerintah. Izin tersebut dikeluarkan oleh Menteri Kehutanan, sesuai kewenangannya dalam mengatur dan mengelola kawasan hutan negara.

"Izin yang dikeluarkan mencakup berbagai kewajiban yang harus dipatuhi oleh pemegang izin. Hal ini mencakup aspek administrasi hingga teknis implementasi kegiatan sesuai izin yang diberikan.” Ujar Feri.

Feri menegaskan bahwa penataan batas yang mendapat kecaman dari warga tersebut merupakan kewajiban ABT sebagai pemegang izin konsesi kepada pemerintah sebagai pemilik kawasan hutan. Dalam menjalankan kewajibannya, Perusahaan bergerak sesuai dengan koridor aturan pemerintah, sehingga masyarakat tidak perlu khawatir.

"Sebagai perusahaan pemegang izin, ABT tidak memiliki kewenangan untuk mengusir masyarakat. Kebijakan Perusahaan juga mengedepankan pendekatan persuasif kepada masyarakat yang mengelola lahan yang sudah terlanjur terbuka di dalam kawasan yang saat ini menjadi areal kerja ABT,"tegasnya.

Kemudian General Manager PT ABT, Taufiq Hidayat, menegaskan bahwa perusahaan bertujuan untuk menjaga kelestarian hutan dengan tetap mengutamakan kesejahteraan masyarakat. Menurutnya, hutan yang dikelola ABT memiliki peran penting dalam mengurangi bencana alam, seperti banjir dan kekeringan, serta menyediakan berbagai sumber kehidupan bagi masyarakat sekitar, termasuk hasil hutan bernilai ekonomi.

Atas persoalan ini, masyarakat Desa Pemayungan mengajukan permintaan kepada pemerintah, khususnya Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), untuk mencabut Surat Keputusan (SK) yang memberikan izin kepada PT ABT. Mereka menganggap bahwa izin yang dikeluarkan telah merugikan mereka dan berpotensi menghilangkan akses mereka terhadap lahan yang selama ini mereka kelola.

“Keberadaan SK tersebut hanya menambah masalah di desa kami. Kami berharap pemerintah dapat mencabut izin tersebut demi kepentingan masyarakat lokal,” kata salah seorang warga yang enggan disebutkan namanya.

BACA BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Komentar Via Facebook :