Berita / Feature /
PAS 2022 Ala 'Pak Tani'
Wayan Supadno. foto: ist
Mereka yang kompak, sinergis, mampu dan adaptif adalah pemenang di tahun yang tak berkepastian ini.
Wayan Supadno. Orang menyebut lelaki 54 tahun ini; Pak Tani. Meski bukan petani tulen, oleh ragam warna perjalanan hidup yang dilewati, ayah tiga anak ini justru telah mampu membuktikan ketulenannya sebagai petani.
Maka tak aneh jika kemudian pensiunan Mayor TNI Angkatan Darat ini banyak menghasilkan pemikiran, perkiraan yang cerdas dan bernas.
Lagi-lagi semua itu bukan sekadar teori, tapi dari hasil 'praktek lapangan' yang malah di antaranya sempat membikin dia 'nyungsep' hingga di angka Rp38 miliar.
Bagi Wayan, 'jatuh' bukan sesuatu yang nista, tapi justru bandul pelontar meraih kemuliaan. Kemuliaan yang kemudian bermanfaat bagi banyak orang.
Oleh ragam warna perjalanan tadi pula, tadi pagi, Wayan menghamparkan pemikiran dan perkiraannya terkait dunia pertanian tahun ini saat berbincang dengan elaeis.co.
Dia menyebutnya dengan Peluang, Ancaman dan Solusi (PAS). Berikut perbincangan itu terurai dalam bentuk tanya jawab;
Aura tahun baru masih sangat terasa. Tahun yang tentunya masih mengingatkan kita pada perjalanan di tahun 2021. Apa kesan yang Anda rasakan terkait para petani?
Kalau mau jujur, yang harus merasa paling bersyukur itu ya petani sawit. Sebab mereka dapat omset dan laba yang jauh lebih sehat ketimbang petani lain.
Rasa syukur ini sekaligus menjadi sumber kekuatanlah bagi mereka agar selalu tahu diri dan berusaha menjadi lebih berprestasi lagi.
Lantaran Anda menyebut petani sawit, seperti apa perkiraan Anda tentang perkelapasawitan di 2022?
Prediksi saya harga sawit masih akan tinggi lantaran berbagai portofolio pembentuknya. Misalnya perubahan iklim yang membikin potensi produksi tidak jauh beda dengan tahun lalu.
Permintaan baru justru akan muncul oleh aktifitas inovasi yang berdampak pada perluasan pasar.
Kebijakan Presiden Jokowi soal hilirisasi bioenergi, saya lihat total dan serius. Ini kelihatan dari upaya meningkatkan B30 menjadi B40, juga BenSa alias bensin sawit.
Ini sangat strategis, tercipta pasar baru. Yang tadinya serapan Crude Palm Oil (CPO) sekitar 9,6 juta kiloliter, tahun ini bakal naik menjadi 15 juta kiloliter. Jumlah ini setara dengan hasil kebun sawit seluas 4,5 juta hektar.
Belakangan ada isu akan dihentikan ekspor CPO. Menurut Anda gimana?
Sebenarnya stop ekspor CPO ini sangat bagus apabila CPO kemudian diolah di dalam negeri, biar ekspornya dalam bentuk barang jadi. Misalnya produk pangan, energi, kosmetik, hingga farmasi turunan sawit. Dengan begitu, indeks kompleksitas ekonomi makin tinggi, setidaknya tercipta lapangan kerja baru dalam jumlah besar yang dinikmati oleh masyarakat luas non petani sawit.
Lantaran ini adalah masyarakat non petani sawit, saya yakin lambat laun mereka akan menjadi komunitas baru pecinta sawit lho, dengan begitu sawit akan semakin berkelanjutan.
Bagaimana dengan Harga Pokok Produksi (HPP), apakah akan membengkak? Soalnya belakangan kan petani sedang didera oleh tingginya harga pupuk dan pestisida.
HPP --- biaya yang dikeluarkan selama proses produksi --- tahun ini akan semakin tinggi. Ini terjadi lantaran biaya produksi yang didominasi pupuk (40%), saat ini harganya sedang melambung tinggi. Meski begitu, petani juga harus paham, bahwa saat ini kan harga jual TBS juga naik, jadi, posisi profit margin masih tetap.
Gini, biar kita semua paham, saya mau menjelaskan juga, kenapa pupuk dan herbisida kimia menjadi mahal. Ini enggak lepas dari dampak pandemi covid-19. Di seluruh dunia, usaha, pekerjaan, semua terganggu. Bahkan ada yang dihentikan, di-lockdown. Tak terkecuali penambangan bahan pupuk anorganik atau pupuk kimia.
Hampir 100% Phospor (P) dan Kalium (K) kita impor. Ini terjadi lantaran bangsa kita tidak punya tambang potensialnya. Lantaran impor, otomatis ongkos kirim dari negara asalnnya yang jauh dari Indonesia menjadi mahal. Belum lagi kapal angkut yang makin langka lantaran berebut dengan komoditas lain. Kondisi ini ikut mendongkrak harga pupuk.
Lantas, apa yang musti dilakukan petani?
Hhhmmm…ini kita cerita solusi ya? Kalau kita sudah tahu harga pupuk akan tinggi, maka HPP atau biaya produksi juga akan tinggi. Nah, biar laba tetap tinggi, caranya cuma satu; biaya penyerta dominan pupuk ditekan dengan inovatif dan kreatif. Misalnya integrasi sawit-sapi. Cara ini sebenarnya sudah mutlak dilaksanakan biar dapat pupuk gratis jangka panjang.
Kita tahu kotoran sapi, baik feces maupun urinenya, kaya akan C organic. C organic ini pengembali kesuburan tanah. Bisa sebagai media biak mikroba yang menjadi sahabat petani. Mikroba penambat N, pelarut P maupun K serta biopestisida Trichoderma lawan Ganoderma, patogen sawit. Semua berbiak massal.
Untuk mendapatkan itu semua, saya kasi kalkulasi logisnya begini; tiap hektar kebun petani sawit, musti punya 5 ekor sapi. Sebab 1 ekor sapi seberat 400 kilogram, menghasilkan 4 ton feces per tahun dan 3.000 liter urine pertahun. Kalau 1 hektar sawit diintegrasi dengan 5 ekor sapi, maka petani sudah dapat pupuk super mewah bagi tanaman, setara dengan 20 ton feces kering angin dan 15.000 liter urine pertahun. Kita cuma butuh 25% NPK kimia saja dari rekomendasi. Ini empiris!
Selain dapat laba yang terdongkrak akibat pupuk gratis dari limbah sapi, petani masih dapat bonus 5 ekor anak sapi. Nilai uangnya tidak kurang dari Rp60 juta pertahun @Rp15 juta anak jenis limousin atau simmental pada usia setahun. Kalau petani punya 2 hektar sawit, maka integrasi sapinya sudah 10 ekor. Bisa jauh lebih makmur sejahtera petani sawit kita.
Hhhmm..sesungguhnya sederhana ya pak?
Sangat sederhana, yang penting kemauan, berani dan tidak gampang menyerah. Sebab apapun usaha butuh proses. Di proses inilah ketangguhan kita diuji.
Menurut Anda, apa tantangan dan problematika yang akan dihadapi petani sawit tahun ini?
Yang paling serius dihadapi petani sawit adalah 2,4 juta hektar kebun kelapa sawit yang disengketakan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Ada yang dibilang dalam kawasan hutan produksi, hutan lindung dan bahkan hutan konservasi. Ironisnya, banyak dari luasan kebun itu yang sudah ber- Sertifikat Hak Milik (SHM) tapi masih dianggap ilegal. Ini nyata - nyata menyakiti hati petani sawit.
Saya berharap pemerintah bijak dan cerdas. Segera legalkan tanah-tanah itu. Kalau kita berpedoman pada hakikat UUD 45 yang sesungguhnya sangat mengedepankan kepentingan dan kesejahteraan rakyat, lagi-lagi saya bilang, sengketa yang dihadirkan oleh KLHK ini sangat ironis di saat lahan Areal Peruntukan Lain (APL) sudah habis, sudah jadi Hak Guna Usaha (HGU) perusahaan besar.
Selama ini KLHK nyaris tak perduli dengan lahannya sendiri, banyak yang gundul dan bahkan terlantar. Inilah sesungguhnya proses pemiskinan, yang membikin petani sawit makin tidak berdaya. Alhasil rasio gini makin menganga. Ingat, kondisi ini sangat riskan, menjadi ancaman stabilitas bangsa di masa depan.
Apalagi yang menjadi persoalan petani sawit?
Benih ilegal. Di satu sisi, secara umum petani penanam benih illegal, makin sedikit. Tapi sampai sekarang masih ada. Ini ancaman masa depan petani. Data produktivitas petani, terlalu besar bedanya dibanding perusahaan. Produktifitas petani jauh lebih kecil. Ini tantangan. Agar petani setara dengan lainnya, yang harus berjuang itu utamanya Apkasindo dan BPDPKS, biar penderitaan petani karena gagal benih enggak ada lagi.
Apapun itu, tahun ini adalah tahun yang unik. Tahun yang tidak ada kepastian. Meski begitu, tetap saja akan ada pemenangnya. Pemenang itu adalah sosok atau kelompok kompak yang sinergis, mampu dan adaptif dengan ketidakpastian itu.







Komentar Via Facebook :