https://www.elaeis.co

Berita / Lingkungan /

Palm Oil in The Land of Orangutans: Potret Titik Temu Sawit dan Konservasi

 Palm Oil in The Land of Orangutans: Potret Titik Temu Sawit dan Konservasi

Usai pemutaran film, dilanjutkan diskusi menampilkan tiga pembicara. Foto: Taufik Alwie


Jakarta, elaeis.co --Harus diakui, film dokumenter Palm Oil in The Land of Orangutans ini dari awal sampai akhir dengan kuat membawa penonton pada perjalanan reflektif di satu area di Kalimantan Tengah — tempat kelapa sawit, hutan, dan manusia hidup berdampingan dalam dinamika yang rumit namun saling terkait.

Karya sineas Denmark bernama  Dan Sall tersebut menampilkan pandangan apa adanya dari Carl Traeholt (International Project Development Manager, Copenhagen Zoo), saat menelusuri lanskap sawit di sekitar wilayah Kabupaten Kotawaringan Barat, Kalimantan Tengah.

Di sana Traeholt melihat sesuatu yang lebih dari sekadar bentang alam: sebuah harmoni nyata, tempat sawit, hewan, hutan dan manusia berbagi ruang kehidupan tanpa harus saling meniadakan. Ia melihat bagaimana perkebunan sawit dapat berinteraksi positif dengan lingkungan, khususnya habitat orangutan (Pongo pygmaeus).

Hasil kolaborasi antara Kebun Binatang Kopenhagen (Copenhagen Zoo) dan United Plantation  milik perusahaan Denmark, film ini merekam rеаlitas selama delapan tahun (2015-2023) di kawasan Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah.

Perjalanan Traeholt, seperti tergambar dalam film, bukan sekadar catatan lapangan seorang peneliti, melainkan potret perubahan cara pandang terhadap lanskap sawit di Indonesia. Di balik citra hitam-putih yang kerap dilekatkan pada industri ini, ada wilayah abu-abu yang justru menyimpan peluang besar untuk membangun harmoni.

Koeksistensi antara sawit dan konservasi bukanlah utopia, ia telah tumbuh dari kesadaran lokal, dari cara petani mengelola kebunnya tanpa melanggar batas rimba, dan dari bagaimana perusahaan berupaya menjaga koridor satwa di tengah blok tanaman produktif.

Film berdurasi 72 menit produksi  Copenhagen Film Company ini khusus diputar di Hollywood XXI, Jakarta, Jumat, 17 Oktober 2025, untuk kemudian dibedah dalam sebuah forum diskusi menarik. Diskusi menampilkan pembicara “Sang Aktor” Carl Traeholt, serta Simon Bruslund, Director of Global Development, Copenhagen Zoo. Juga ada Dr. Petrus Gunarso, pakar kehutanan dan lingkungan dari Indonesia.

Pemutaran film dan diskusi ini diprakarsai Kedutaan Besar RI di Denmark bersama Copenhagen Zoo  dan  Palm Oil Strategic Studies (IPOSS), yang didukung Kementerian Luar Negeri RI. Hadir pada acara itu antara lain sejumlah petinggi IPOSS, seperti Darmin Nasution, Sofyan Djalil, dan Yuri Octavian Thamrin.

Acara yang disiapkan Ketua Panitia Nanang Hendarsah dari IPOSS ini dibuka Dirjen Informasi dan Diplomasi Publik Kementerian Luar Negeri RI, Heru Hartanto Subolo.

Pembangunan hutan koridor

Fokus utama film adalah mendokumentasikan upaya United Plantation dalam menjalankan proyek rehabilitasi hutan yang ambisius. Yaitu pembangunan hutan koridor yang dirancang untuk menghubungkan area perkebunan sawit dengan hutan lindung di sekitar Taman Nasional Tanjung Puting.

Yang menarik, film ini tidak hanya menyajikan kritik, melainkan juga menampilkan bukti nyata bahwa pertanian industrial (kelapa sawit) dapat berdampingan secara produktif dengan lingkungan dan satwa liar. Carl Traeholt, yang awalnya skeptis, digambarkan perlahan menyadari bahwa upaya konservasi yang terintegrasi dengan perkebunan sawit bisa berhasil.

Film ini tak jatuh pada hitam-putih narasi. Di satu sisi, ia menyorPenampakan orangutan. Foto: Taufik Alwieoti kompleksitas ekspansi perkebunan sawit. Di sisi lain, ia menampilkan upaya nyata seperti pembentukan hutan koridor seluas 318 hektare oleh United Plantation untuk menghubungkan kebun dengan kawasan Taman Nasional Tanjung Puting. Jalur hijau ini kini menjadi lintasan satwa liar, termasuk orangutan, burung, dan reptil.

Melalui kamera yang jujur dan tenang, film ini membawa penonton ke jantung perkebunan United Plantation. Dari udara tampak jelas pola lanskap baru: hamparan sawit tidak lagi menjadi tembok pemisah, melainkan menjadi jembatan hidup bagi burung, ular, bahkan orangutan, untuk melintas ke kawasan hutan di Taman Nasional.


Film juga memotret kehidupan petani plasma yang mengelola lahan dengan lebih produktif, seraya menjaga tepi sungai dan area konservasi. Pendek kata, film dokumenter ini menghadirkan narasi yang menyejukkan: bahwa sawit bisa menjadi bagian dari solusi, bukan hanya sumber masalah. Film ini dinilai mampu membalikkan pandangan negatif sebagian masyarakat Eropa yang menganggap sawit tidak ramah lingkungan.   

Dari layar lebar ke ruang diskusi

Ketika film usai, ruang diskusi dibuka. Tiga tokoh memberi refleksi mendalam: Dr. Petrus Gunarso,  Simon Bruslund, serta Carl Traeholt. Intinya, mereka menekankan pentingnya melihat isu sawit secara proporsional dan berbasis data historis. Apalagi, sebagian besar deforestasi di Indonesia terjadi jauh sebelum ekspansi sawit modern dimulai.


Disebutkan pula bahwa bukan hanya di Indonesia sawit memperoleh banyak penentangan, di Eropa pun isu sawit kerap dilihat hanya dari sisi negatif, terlebih jika dikaitkan dengan strategi  persaingan dagang. Eropa sebagai penghasil minyak biji-bijian, merasa kewalahan dengan serbuan minyak sawit yang produktivitasnya sangat tinggi dan harga lebih rendah.

Para pembicara juga sepakat bahwa sawit tidak selalu menjadi cerita buruk. Ia bisa menjadi bagian dari solusi dalam konteks ekonomi, sosial, dan lingkungan, jika dikelola dengan ilmu dan tanggung jawab.  Ketiga narasumber seakan menyatukan pesan yang sama: saatnya dunia melihat sawit Indonesia dengan lebih jernih.

Diskusi kemudian dilanjutkan dengan tanya jawab. Tak diduga, hampir separuh penonton mengacungkan tangan untuk bertanya, membuat moderator agak kebingungan memilihnya. Maklumlah, isu sawit memang menarik dibahas, apalagi menampilkan pula pembicara yang mumpuni. Tapi, agaknya, hadiah jutaan rupiah dari panitia bagi lima penanya terbaik menjadi faktor perangsang utama.

Diplomasi lunak

Memang, film ini mungkin belum sempurna. Ia lebih banyak menyoroti studi kasus yang berhasil ketimbang yang bermasalah. Namun justru di situlah kekuatannya: Palm Oil in The Land of Orangutans menghadirkan cermin dari kemungkinan terbaik, sesuatu yang patut ditiru dan diperluas.

Bagi penonton Indonesia, film ini terasa seperti pesan balik kepada dunia: lihatlah lebih dekat, pahami konteksnya, dan temukan kebenaran di antara warna abu-abu, bukan hitam dan putih.

Film ini dinilai sukses sebagai “alat diplomasi lunak” untuk melawan kampanye negatif dengan bukti nyata di lapangan.  Film ini mengajarkan bahwa komunikasi lingkungan tidak selalu harus keras dan menuding. Ia bisa lembut, faktual, namun tetap menggugah. Diskusi pasca-pemutaran film memperlihatkan bagaimana sains dan empati bisa bersanding, melampaui sekat antara aktivisme dan industri.

Di tengah riuhnya tudingan global terhadap sawit, Palm Oil in The Land of Orangutans hadir sebagai soft diplomacy—sebuah upaya untuk menyeimbangkan narasi dengan bukti, bukan opini. Dan mungkin, seperti hutan koridor yang menghubungkan dua dunia, film ini adalah koridor komunikasi antara Indonesia dan dunia.

Film ini lebih dari sekadar dokumenter. Sekali lagi, ia adalah alat diplomasi lunak (soft diplomacy) yang menunjukkan bahwa Indonesia memiliki banyak kisah baik yang belum terdengar. Ia tak menafikan masalah, tapi menampilkan solusi. Ia tak menyerang, tapi mengundang dialog.

Narasi seperti inilah yang dibutuhkan di tengah derasnya kampanye negatif terhadap sawit Indonesia. Bahwa di balik kebun-kebun yang sering dituding sebagai penyebab kehancuran hutan, ada juga upaya perbaikan, inovasi, dan tanggung jawab sosial-lingkungan yang tumbuh. Film ini menunjukkan bahwa keberlanjutan bukan utopia, tapi hasil kerja bersama—antara ilmuwan, industri, petani, dan lembaga konservasi.

Palm Oil in The Land of Orangutans bukan film untuk berdebat, melainkan untuk membuka dialog. Di akhir diskusi, muncul kesadaran baru: bahwa perubahan bukan dimulai dari perdebatan, melainkan dari kemauan untuk saling memahami.Dan mungkin, di situlah arti sesungguhnya dari keberlanjutan—bukan hanya antara manusia dan hutan, tapi juga antara bangsa dan dunia.

Dari layar ke ruang diskusi, satu hal menjadi jelas: masa depan sawit Indonesia tidak ditentukan oleh perdebatan, tapi oleh kemampuan kita menjaga keseimbangan antara manusia, ekonomi, dan alam.

Bagi Indonesia, kegiatan ini memiliki makna strategis, yakni untuk menunjukkan keterbukaan dalam membicarakan isu sawit secara ilmiah dan berimbang, serta mengedukasi publik agar memahami kompleksitas hubungan antara ekonomi, lingkungan, dan pembangunan berkelanjutan. Kegiatan ini juga dinilai memperkuat diplomasi hijau antara Indonesia dan Denmark.  

 

BACA BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Komentar Via Facebook :