Berita / Nasional /
Pakar ITB Sebut Biodiesel B45 Lebih Ramah Mesin Lawas
Jakarta, elaies.co - Setelah sukses meluncurkan B35 dan B40, pemerintah kini bersiap menguji coba B50, campuran 50% biodiesel dengan 50% solar. Namun, sejumlah pakar mengingatkan bahwa langkah ini tidak boleh terburu-buru, terutama karena kondisi mesin kendaraan di lapangan masih sangat beragam.
Akademisi sekaligus pakar otomotif dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Yannes Martinus Pasaribu, menilai bahwa penggunaan B45 atau campuran 45% biodiesel sawit dengan 55% solar lebih aman untuk mesin-mesin diesel lama dibandingkan dengan B50.
“Dari perspektif kompatibilitas mesin, B45 dapat dianggap lebih unggul dibandingkan B50, khususnya untuk kendaraan yang belum dioptimalkan untuk campuran biodiesel tinggi,” jelas Yannes.
Menurut Yannes, mesin diesel yang diproduksi sebelum 2010 atau masih berstandar Euro-2 umumnya tidak didesain untuk menangani campuran biodiesel tinggi.
Pada B50, proporsi minyak sawit yang lebih banyak dapat mempercepat kerusakan pada komponen karet (seal), serta menimbulkan gangguan pada injektor akibat sifat pelarut dan potensi korosi dari biodiesel.
Dengan menggunakan B45, risiko tersebut bisa ditekan. Mesin lawas tetap bisa beroperasi dengan lebih aman, tanpa perlu modifikasi besar. Hal ini penting mengingat masih banyak kendaraan niaga, bus, hingga alat berat di Indonesia yang usianya lebih dari 10 tahun dan masih menjadi tulang punggung transportasi serta logistik.
Bagi kendaraan modern dengan standar Euro-4 atau lebih baru, situasinya berbeda. Pabrikan sudah merancang mesin diesel generasi baru agar kompatibel dengan biodiesel hingga B30–B35. Menurut Yannes, mesin modern umumnya masih bisa menggunakan B45 tanpa kendala besar, meski ada catatan penurunan performa.
Ia mencontohkan, dengan B50, daya mesin bisa turun hingga 6,38% pada putaran maksimal dibandingkan solar murni. Sementara dengan B45, penurunan tenaga hanya berkisar 2%–5%.
Meski terkesan kecil, selisih ini bisa cukup terasa bagi pengemudi kendaraan lawas yang bergantung pada tenaga mesin untuk mengangkut muatan berat.
Dari sisi lingkungan, Yannes mengakui bahwa B50 lebih unggul. Berdasarkan perhitungannya, B50 mampu menekan emisi gas rumah kaca hingga 40%–50%, sementara B45 hanya sekitar 35%–45%. Artinya, semakin tinggi campuran biodiesel, semakin besar pula manfaatnya dalam mengurangi polusi udara dan partikel berbahaya.
Namun, ia mengingatkan bahwa keberhasilan program biodiesel tidak hanya diukur dari seberapa besar penurunan emisi, tetapi juga dari kesesuaian dengan kondisi kendaraan di lapangan. “Kalau terlalu memaksakan B50, justru ada risiko mesin rusak yang biayanya bisa membebani pengguna,” ujarnya.
Selain soal teknis, Yannes juga menyoroti aspek ekonomi. Dengan meningkatkan porsi biodiesel, konsumsi sawit domestik otomatis naik. Hal ini membantu mengurangi impor solar, sekaligus menghemat devisa negara. Dari sisi ketahanan energi, pemanfaatan sawit sebagai bahan bakar jelas mendukung kemandirian nasional.
“B50 memang lebih banyak memanfaatkan minyak sawit lokal. Ini mendukung ketahanan energi sekaligus mengurangi ketergantungan pada impor bahan bakar fosil,” ucap Yannes.







Komentar Via Facebook :