https://www.elaeis.co

Berita / Nusantara /

Pakar: Isi PP Ini Ada Kayak Preman, Malak Duluan!

Pakar: Isi PP Ini Ada Kayak Preman, Malak Duluan!

Salah satu hamparan pohon kelapa sawit yang diklaim dalam kawasan hutan produksi di Kalimantan Tengah. Foto: aziz


Jakarta, elaeis.co - Pakar hukum kehutanan, Dr. Sadino menyebut kalau dua Peraturan Pemerintah (PP) turunan Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK) terkait lahan dan hutan telah memancing rakyat untuk berperkara dengan Negara. 

Selain mengangkangi hukum perhutanan yang ada, PP ini dianggap tidak menghormati hak konstitusional warga negara (hak atas tanah). 

Padahal hak konstitusional seperti hak atas tanah dan hak privat lainnya dijamin dan dilindungi oleh UUD 1945.

Adapun bukti pengangkangan hukum perhutanan tadi kata Sadino, Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) 45 Tahun 2011 sudah mengharamkan kata 'ditunjuk' sebagai sahnya kawasan hutan dan memerintahkan Negara segera melakukan pengukuhan. Sebab pengukuhanlah kepastian hukum tetap.  

Tapi kata Sadino, perintah itu tidak dijalankan pemerintah. Yang dilakukan justru tetap memaksa kata 'sebelum ditunjuk' dan 'sesudah ditunjuk' tadi sebagai sahnya kawasan hutan. 

Celakanya, pemaksaan tadi dibarengi pula dengan rangkaian denda besar yang wajib dibayarkan oleh rakyat. 

"Memang di PP itu tak ada lagi sanksi pidana, tapi pengangkangan fatal akibatnya, 65% petani jadi korban," katanya. 

Bekas Ketua Tim Penyusunan Kajian Hukum Pidana Pada Pengelolaan Hutan di Indonesia Tahun 2002-2003 ini menegaskan kalau apa yang dia bilang ini bukan lantaran sawit, tapi murni demi hak konstitusional warga negara (hak atas tanah). 

"Kalau rakyat menyerobot kawasan hutan yang sudah dikukuhkan dan terjaga, lalu rakyat didenda, silahkan. Tapi kalau berantakannya kawasan hutan oleh kelalaian pemerintah dan kemudian rakyat ditumbalkan, jangan begitulah," pintanya. 

Gara-gara kata 'sebelum dan sesudah ditunjuk' tadi dipakai kata Anggota Tim Penyusun Buku Panduan Penegakan Hukum Kehutanan Dengan Pendekatan Tindak Pidana Pencucian Uang Tahun 2005-2006 ini, PP itu telah memunculkan ruang perdebatan dan tafsir hukum di masyarakat. 

"Kalau bahasanya penunjukan, penunjukan di tahun mana yang akan dipakai? Inilah yang jadi perdebatan itu" ujarnya. 

Soalnya kata lelaki kelahiran Klaten Jawa Tengah ini, penunjukan awal kawasan hutan di semua provinsi di Indonesia dimulai sejak tahun 1982 hingga 1986.

Setelah itu, ada lagi beberapa revisi sesuai SK Menteri terkait penunjukan kawasan hutan dan penetapan kawasan hutan. 

"Yang mana yang mau dipakai? Pertanyaan inilah yang akan menghadirkan ruang penafsiran hukum suka-suka dan sepihak oleh pemerintah," tegasnya. 

Kalau PP dengan embel-embel sebelum dan sesudah ditunjuk itu dipaksakan, akan ada inventarisasi, verifikasi dan klarifikasi. Implementasinya di lapangan akan ruwet. Yang terdampak penerapan PP itu akan melakukan perlawanan secara hukum. 

Perlawanan secara hukum itu terpaksa dilakukan oleh rakyat kata Sadino lantaran mereka ditunggu oleh denda yang tak sedikit, sudahlah begitu, hak konstitusionalnya pun terancam dirampas oleh PP itu. 

"Data inventarisasi dan verifikasi itu produk Aparatur Sipil Negara (ASN). Kalau enggak cocok datanya, enggak jelas kapan penunjukannya, rakyat bisa menggugat. Lantaran produk pekerjaan ASN itu putusan tertulis, maka menjadi objek sengketa Tata Usaha Negara untuk menguji  kebenarannya," Sadino mengingatkan. 

Kalau sengketa terjadi kata Sadino, itu akan berlangsung lama. Alhasil, cita-cita UUCK enggak akan pernah tercapai lantaran yang ada hanya berantem. 

Lantaran dasar yang dipakai dalam kawasan hutan itu hanya penunjukan kata Sadino, posisi pemerintah lemah. Sebab itu tadi, penunjukan itu belum mempunyai kekuatan hukum tetap. 

"Itu juga makanya saya bilang, kalau ada petugas memasang plank kebun ilegal di kawasan hutan yang masih dalam status penunjukan, petugas itu bisa digugat ke PTUN," tegasnya. 

Sadino mengulas lagi tujuan Presiden Jokowi menggagas UUCK yang sudah disahkan November tahun lalu itu. 

"Tujuan UUCK itu kan mempermudah, mensinkronkan regulasi, membuka investasi, meningkatkan jumlah orang bekerja. Kalau begini ceritanya, mana cukup tiga tahun memberesi kawasan hutan. Enggak sesuai UUCK jadinya. Sebab isi PP itu bukan produk hukum, tapi ego!" ujarnya.

Sebenarnya kata Sadino, jika dibandingkan antara isi draf RPP dan PP, isinya sangat beda jauh. Waktu masih dalam bentuk draf RPP saja, Sadino bilang; gimana mau mengawal pasal-pasal itu agar tidak melanggar hak konstitusional masyarakat dan sesuai keinginan Presiden kalau antara draf dan finalnya saja sudah beda. 

"Harusnya masyarakat dibantu, dipermudah, supaya rakyat punya hak. Supaya bisa ikut Peremajaan Sawit Rakyat (PSR), supaya tiap tahun Negara dapat pajak yang besar. Tapi yang ada malah kayak preman, belum apa-apa sudah malakin orang duluan," rutuk lelaki ini seperti dilansir Gatra.com, Minggu (28/2). 


BACA BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Komentar Via Facebook :

Berita Terkait :