Berita / Nasional /
Pakar dan Pengambil Kebijakan Duduk Semeja Bahas Keberlanjutan Sawit Indonesia
Diskusi bertajuk ‘Unlocking Opportunities: Advancing Indonesia's Leadership in Sustainable Palm Oil’ di Jakarta. Foto: Yuliani
Jakarta, elaeis.co – Indonesia merupakan produsen minyak sawit terbesar di dunia dan sektor ini telah menjadi tulang punggung ekonomi nasional. Sawit berkontribusi sekitar 3,5% terhadap PDB nasional dan memberikan lapangan pekerjaan bagi lebih dari 18 juta orang.
Namun, sejumlah tantangan menghadang, terutama implementasi European Union Deforestation Regulation (EUDR) pada tahun 2026 yang menuntut ketelusuran penuh, sumber daya bebas deforestasi, serta kepatuhan terhadap uji tuntas dalam ekspor minyak sawit.
Membahas tantangan ini, IES Indonesia Summit menggelar diskusi bertajuk ‘Unlocking Opportunities: Advancing Indonesia's Leadership in Sustainable Palm Oil’ di Jakarta, Selasa (18/2).
Acara ini menghadirkan para pemangku kepentingan guna mencari solusi inovatif dalam memastikan keberlanjutan industri sawit, terutama bagi petani kecil yang merupakan aktor utama dalam rantai pasok.
Dalam diskusi ini, Wakil Menteri Pertanian, Sudaryono, menyoroti pentingnya kebijakan yang berpihak pada petani kecil. "Petani kecil memegang peranan penting dalam industri sawit nasional. Jika mereka tidak diberdayakan, ketahanan industri ini akan terganggu," tegasnya.
Dewan Pengawas IPOSS (Indonesia Palm Oil Strategic Studies), Yuri O Thamrin, mengingatkan seluruh pemangku kepentingan agar bergerak cepat dalam menerapkan standar keberlanjutan yang lebih tinggi.
"Regulasi EUDR menuntut kepatuhan yang lebih ketat. Jika tidak segera beradaptasi, minyak sawit Indonesia bisa kehilangan pasar utama di Eropa," katanya.
Sementara itu, Direktur Suistaibility PT Surveyor Indonesia, Martinus Haryo Sutejo mengungkapkan bahwa inovasi digital seperti blockchain dan artificial intelligence dapat meningkatkan transparansi dalam rantai pasok. "Teknologi akan menjadi solusi dalam memastikan ketelusuran produk dan memenuhi regulasi internasional," sebutnya.
Dalam hal penyelarasan sains dan kebijakan, Ketua Badan Eksekutif Inisiatif Dagang Hijau Indonesia, Fitria Ardiansyah menekankan bahwa kebijakan berbasis ilmiah sangat dibutuhkan agar keberlanjutan bukan sekadar jargon. "Data dan riset harus menjadi dasar dalam mengambil keputusan. Jika tidak, kebijakan yang dibuat tidak akan efektif dalam jangka panjang," tandasnya.
Chief Investment Officer of Global Fund for Coral Reefs Peter Kennedy juga mengingatkan, pendanaan juga menjadi faktor penting dalam mendorong keberlanjutan. Skema pembiayaan inovatif dibutuhkan untuk membantu petani kecil beralih ke praktik pertanian berkelanjutan. "Tanpa akses pendanaan yang memadai, implementasi keberlanjutan akan sulit dicapai," ungkapnya.
Diskusi ini tidak hanya menyoroti tantangan, tetapi juga menawarkan solusi konkret untuk mengatasi berbagai hambatan. Dengan keterlibatan aktif pemerintah, industri, akademisi, dan sektor keuangan, ada harapan bahwa minyak sawit Indonesia dapat tetap kompetitif di pasar global tanpa mengorbankan lingkungan.
Satya Tripathi, Sekretaris Jenderal Global Alliance for a Sustainable Planet, menekankan perlunya kolaborasi berkelanjutan. "Keberlanjutan bukan hanya tanggung jawab satu pihak, tetapi semua pemangku kepentingan harus mengambil peran. Dengan langkah yang tepat, Indonesia bisa menjadi pemimpin global dalam industri sawit berkelanjutan," ujarnya.
Sofyan Djalil, CEO Indonesian Business Council yang juga mantan Menko Perekonomian, menegaskan bahwa masa depan industri sawit Indonesia bergantung pada adaptasi terhadap perubahan global. "Kita tidak bisa berjalan sendiri. Kemitraan strategis dan inovasi harus terus didorong agar industri ini tetap relevan dan berdaya saing di pasar internasional," tutupnya.







Komentar Via Facebook :