https://www.elaeis.co

Berita / Nusantara /

Pak Presiden! Petani Sawit Sumsel Sudah Berdarah-darah, Loo...

Pak Presiden! Petani Sawit Sumsel Sudah Berdarah-darah, Loo...

Kredit Foto: Reuters


Palembang, elaeis.co - Larangan ekspor bahan baku dan minyak goreng saat ini justru menjadi momok menakutkan bagi para petani kelapa sawit. Bagaimana tidak, usai diumumkan oleh Presiden Joko Widodo beberapa waktu lalu, harga Tandan Buah Segar (TBS) petani langsung merosot.

Buka hanya merosot, saat ini justru kelapa sawit petani tidak laku, karena Pabrik Kelapa Sawit (PKS) tidak lagi mau membeli karena stok CPO melimpah. 

Hal ini juga terjadi di wilayah Sumsel, menurut Rudi Arpian selaku Analis PSP Madya Dinas Perkebunan Sumsel, sejak pemerintah resmi mengeluarkan kebijakan itu, penghasilan petani di Sumsel khususnya petani swadaya ambruk.

"Hampir di seluruh kabupaten dan kota penghasil sawit se-Indonesia termasuk Sumsel, ada sekitar 104.779 kepala keluarga petani swadaya yang terimbas langsung dari pelarangan ekspor CPO dan turunannya. Pasalnya, gara-gara kebijakan itu, terjadi penurunan harga Tandan Buah Segar (TBS)," bebernya kepada elaeis.co, Rabu (18/5).

Rudi menjelaskan, mata rantai pemasaran TBS non mitra melewati 2-3 agen pengumpul agar bisa sampai ke PKS. Hal ini juga turut menjadi faktor rendahnya harga TBS petani swadaya. Bahkan bisa anjlok sampai 70%

Larangan ekspor bahan baku dan minyak goreng menurut Rudi menjadi awal petaka petani swadaya. Sementara petani plasma masih cukup aman lantaran harga sesuai penetapan. Kendati begitu, jika kebijakan itu masih berlangsung kemungkinan juga akan berdampak.

Padahal kata Rudi, produksi CPO Indonesia tahun 2021 sebesar 49,71 juta ton, ekspor 23,69 juta ton dan konsumsi dalam negeri 16,76 juta ton, atau surplus 9,25 juta ton. Sementara industri di tanah air belum bisa menampung seluruh produksi CPO, sehingga terjadi penumpukan, surplus yang sangat besar dan berakibat tangki timbun penampung di PKS rata-rata hampir penuh.

"CPO juga tidak bisa disimpan terlalu lama karena akan menurunkan mutu terjadi peningkatan Asam Lemak Bebas (ALB). Sehingga harus diolah lebih lanjut, dengan demikian pelarangan ekspor juga berdampak langsung kepada PKS terutama di sentra sawit yang belum ada industri hilirnya," bebernya.

Imbas lainnya adalah apabila PKS menghentikan pembelian TBS maka petani tidak melakukan panen sawitnya lagi dan membiarkan TBS-nya busuk dan dapat merusak tanaman sawit dan berpengaruh ke produksi berikutnya. Akibat jangka panjang dibutuhkan biaya dan waktu untuk perawatan tanaman sawit bila kondisi sudah normal. Apalagi saat ini harga pupuk sangat tinggi sehingga makin membuat petani sawit tambah terpuruk.

Solusi terbaik menurut Rudi adalah komitment semua pemangku kepentingan dan pencabutan larangan ekspor. Lalu segera benahi tata niaga minyak goreng sehingga tercapai harga yang di inginkan pemerintah. 

"Hilirisasi di seluruh provinsi penghasil sawit dengan menggunakan dana BPDPKS agar kejadian ini tidak berulang lagi," tandasnya.

BACA BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Komentar Via Facebook :