Berita / Nasional /
Organisasi Petani Sawit Bersatu Desak Pemerintah Hentikan Klaim Sepihak Kawasan Hutan
Bogor, elaeis.co – Organisasi petani sawit dari berbagai daerah mendesak pemerintah menghentikan klaim sepihak kawasan hutan yang membuat lahan turun-temurun rakyat terancam hilang dan warga hidup dalam ketakutan berkepanjangan.
Keresahan petani sawit dan masyarakat terdampak kawasan hutan terus memuncak.
Dalam Forum Group Discussion (FGD): Menakar Pansus Konflik Agraria dalam Perspektif Klaim Kawasan Hutan, peserta dari Sumatera Utara, Riau, Kalimantan, hingga Sulawesi menegaskan perlunya pemerintah menghentikan klaim sepihak yang merugikan warga.
Abdul Aziz, Wakil Ketua Umum SAMADE sekaligus Juru Bicara Warga Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN), mengatakan banyak lahan sawit milik masyarakat tiba-tiba diklaim masuk kawasan hutan. Padahal, sebagian besar sudah dikelola puluhan tahun, bahkan sejak era 1970-an hingga 1990-an, termasuk lokasi transmigrasi dan kebun turun-temurun.
“Ini trauma kolektif bagi warga. Tanah yang sudah lama digarap tiba-tiba berubah status hanya karena klaim di atas peta,” ujar Abdul Aziz di hadapan peserta FGD, Kamis (27/11).
FGD menyoroti akar masalah yang melatarbelakangi konflik ini, yaitu tumpang tindih aturan, lemahnya proses pengukuhan kawasan hutan, dan keluarnya Perpres 5/2025 tentang Penerimaan Kawasan Hutan, yang dinilai menyapu habis lahan rakyat.
Abdul menjelaskan, proses pengukuhan kawasan hutan seharusnya melalui tahapan jelas yakni penunjukan, penataan batas, pemetaan, dan penetapan sesuai UU 41/1999 tentang Kehutanan. Namun, di lapangan, bukti tahapan ini sering tidak ada, sehingga warga sulit memastikan apakah tanah mereka benar-benar masuk kawasan hutan atau tidak.
“Kementerian bilang itu kawasan hutan, selesai. Tapi data lapangannya mana? Ini yang tidak bisa mereka tunjukkan,” tegas Abdul. Kondisi ini diperparah dengan adanya aparat bersenjata yang terlibat dalam operasi lapangan. Warga merasa terintimidasi dan trauma, apalagi jika kehadiran militer dianggap berlebihan di masalah sipil.
Di kawasan seperti TN Tesso Nilo, Satgas melibatkan unsur militer, yang membuat warga kaget dan takut. Abdul Aziz menegaskan, masalah yang terjadi adalah persoalan sipil, bukan darurat negara.
Warga hanya ingin mendapatkan ruang dialog dan klarifikasi, terutama terkait 28.606,8 hektare lahan yang telah mereka kelola jauh sebelum penetapan taman nasional pada 2014. Ia menekankan, lahan yang sudah lama digarap seharusnya bisa dienklave, bukan langsung dipaksa keluar.
Sejak 10 Juni 2025, Satgas memerintahkan warga melakukan “relokasi mandiri”. Abdul Aziz mengkritik langkah ini karena arahan pemindahan tidak jelas, menimbulkan tekanan psikologis dan memperpanjang trauma warga. Ia menambahkan, aksi warga menurunkan papan larangan sempat diframing anarkis, padahal sebenarnya itu bentuk protes damai dan upaya menegaskan hak mereka atas tanah.
FGD ini juga menjadi ajang edukasi dengan menghadirkan akademisi dan pakar hukum untuk menjelaskan aspek legal tata kelola kawasan hutan. Tujuan akhirnya adalah menyusun rekomendasi resmi kepada Pansus Konflik Agraria DPR RI agar kebijakan lebih adil dan transparan. Abdul menekankan bahwa suara warga bukan suara satu atau dua orang, melainkan mewakili jutaan masyarakat terdampak.
“Kalau aturan terus dilanggar demi kepentingan segelintir oknum, warga yang rugi. Kami cinta negara ini, tapi keadilan harus ditegakkan,” ujar Abdul.
Para peserta berharap pemerintah dan DPR membuka ruang dialog, bukan pendekatan represif, sehingga konflik agraria dapat diselesaikan secara manusiawi, sesuai aturan, dan tetap menghormati hak masyarakat yang sudah lama mengelola lahan.
Dengan begitu, kebijakan pengelolaan kawasan hutan tidak hanya menjadi instrumen administratif, tetapi juga mencerminkan keadilan sosial bagi petani sawit dan warga terdampak.






Komentar Via Facebook :