Berita / Nusantara /
Oalah! Ngaku Negara Penghasil Sawit, Tapi Koleksi Genetik Indonesia Ternyata Cuma Segini...
Dwi Asmono, Direktur Sustainability, Penelitian dan Pengembangan PT Sampoerna Agro Tbk.
Jakarta, elaeis.co - Indonesia sering disebut sebagai raja sawit dunia, tapi kenyataannya, kalau bicara soal sumber daya genetik sawit, posisi Indonesia masih jauh tertinggal dibanding Malaysia. Di balik produksi sawit nasional yang menembus puluhan juta ton per tahun, ternyata koleksi genetik sawit Indonesia masih sangat terbatas.
Sawit yang kini tumbuh luas di Indonesia dan Malaysia, yang bahkan memberi makan dunia sebenarnya bukan tanaman asli Nusantara. Jenis sawit yang ditanam, Elaeis guineensis, berasal dari Afrika. Sementara satu spesies lain, Elaeis oleifera, berasal dari Amerika Latin.
“Species dari Amerika Latin ini sangat bernilai tapi berisiko tinggi. Keunggulannya kadar minyak lebih tinggi dan lebih tahan terhadap beberapa penyakit sawit, tapi tetap punya potensi membawa penyakit baru,” ujar Dwi Asmono, Direktur Sustainability, Penelitian dan Pengembangan PT Sampoerna Agro Tbk sekaligus Ketua Bidang Penelitian dan Pengembangan GAPKI, Rabu (12/11).
Menurutnya, inovasi lewat pemuliaan berbasis sumber daya genetik yang beragam sudah menjadi keharusan. Sebab, produktivitas sawit Indonesia stagnan di angka 2,5–3,5 ton per hektare selama 15 tahun terakhir.
Tekanan juga makin berat, baik dari organisme pengganggu tanaman (OPT), perubahan iklim, aturan EUDR Uni Eropa, hingga naiknya biaya produksi.
“Kalau hanya mengejar produksi tinggi tanpa memperkuat basis genetik, sistem sawit kita akan rapuh dan tidak berkelanjutan,” tegas Dwi.
Dwi menambahkan, dari sisi kemampuan pemuliaan, Indonesia sebenarnya punya banyak prestasi.
Negara ini memiliki 21 produsen kecambah sawit aktif dan diklaim memiliki varietas unggul terbanyak di dunia, dengan potensi produktivitas hingga 10 ton CPO per hektare hasil riset pemulia lokal.
Masalahnya, Indonesia justru lemah dalam hal sumber daya genetik sawit. Koleksi plasma nutfah yang jadi bahan dasar riset pemuliaan masih sangat terbatas dibanding negara tetangga.
Data menunjukkan, Malaysia lewat MPOB (Malaysian Palm Oil Board) telah mengoleksi 1.964 aksesi Elaeis guineensis dari berbagai negara asalnya di Afrika, mulai dari Nigeria, Kamerun, Zaire, Tanzania, hingga Ghana.
Sementara Indonesia, lewat Konsorsium Plasma Nutfah Kelapa Sawit Indonesia, hanya memiliki 332 aksesi, yang sebagian besar berasal dari Nigeria, Angola, dan Tanzania. Kini, Indonesia baru berencana melakukan eksplorasi tambahan ke Zambia.
Perbandingan makin timpang saat melihat koleksi Elaeis oleifera, sawit dari Amerika Latin. Malaysia memiliki 184 aksesi dari negara seperti Honduras, Nikaragua, Panama, Kolombia, hingga Ekuador. Sedangkan Indonesia baru punya 12 aksesi dari Ekuador, dengan rencana eksplorasi tambahan ke Honduras.
Memasukkan genetik baru memang bukan tanpa risiko. Sawit bukan tanaman asli Indonesia, sehingga memperkaya koleksi bisa berpotensi membawa penyakit baru.
“Di Afrika, sawit tidak bisa berkembang karena jamur Fusarium. Kalau sampai lolos ke Indonesia, sawit kita bisa habis. Begitu juga penyakit kuning dari Amerika Tengah,” jelas Dwi.
Karena itu, introduksi genetik harus diimbangi prosedur karantina ketat. Solusi yang ideal adalah menemukan titik keseimbangan antara produktivitas dan proteksi tanaman.
“Tantangannya bukan memilih salah satu, tapi membuat sistem yang menjamin produktivitas berkelanjutan dan perlindungan berjalan berdampingan,” katanya.
Masa depan industri sawit Indonesia kini bergantung pada kekuatan genetiknya sendiri. Tanpa koleksi plasma nutfah yang cukup, upaya menciptakan varietas baru yang lebih produktif, tahan penyakit, dan adaptif terhadap iklim ekstrem akan sulit.
Sementara Malaysia terus melaju dengan riset dan koleksi genetik yang masif, Indonesia masih harus bekerja keras memperkuat fondasi pemuliaannya agar gelar raja sawit dunia tidak sekadar julukan.
“Sawit adalah aset besar Indonesia. Tapi tanpa memperkuat genetiknya, kita hanya jadi pengelola, bukan pemilik masa depan sawit dunia,” tutup Dwi Asmono.







Komentar Via Facebook :