Berita / Nusantara /
Mosonggi dan Laut Selalu Mewarnai Lebaran Petani Sawit di Sultra
Tradisi mosonggi atau makan sinonggi yang berbahan sagu adalah tradisi wajib dalam setuap momen, termasuk saat berlebaran. (Foto: ist)
Kendari, elaeis.co - Pepatah yang berbunyi "lain lubuk lain ikannya, lain wilayah lain pula tradisinya" terlihat jelas dalam kehidupan para perani sawit di berbagai daerah di Indonesia saat menjalani hari kemenangan Idul Fitri.
Hal ini terlihat pula di Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) yang umumnya dihuni oleh tujuh suku asli yakni Buton, Culambacu, Kulisusu, Muna, Padoe, Tolaki, dan Wolio.
"Kalau di Sultra, ada dua hal yang selalu mewarnai hari libur seperti Idul Fitri sekarang ini," kata Achmad AS, Ketua DPD I Asosiasi Petani Kelapa Sawit PIR (Aspek-PIR) Indonesia Provinsi Sultra kepada elaeis.co, Jumat (12/4/2024).
Dua hal tersebut, ujar petani sawit bersuku Sunda ini adalah mosonggi dan laut atau tepi pantai.
"Mosonggi adalah tradisi makan sinonggi atau sagu berkuah seperti papeda yang ada di Maluku dan Papua," ujar pria yang beristri dari suku Tolaki ini.
Sementara laut atau tepi pantai mewarnai libur Lebaran masyarakat, termasuk yang berprofesi sebagai petani sawit, karena wilayah Provinsi Sultra dihimput laut dan pegunungan.
"Kalau kita berkendaraan di Sultra, biasanya hanya pegunungan atau laut yang kita temui," kata Achmad AS.
Itu sebabnya, kata Achmad, berlibur di tepi pantai sambil ber-mosonggi adalah hal yang sangat dinantikan oleh warga Sultra saat saat Lebaran.
"Mosonggi itu artinya tradiai makan sinonggi yang murni dari sagu bahannya. Nah, sinonggi di suku Tolaki ini memiliki sedikit perbedaan dengan papeda di Maluku atau Papua," Achmad menerangkan.
Kata dia, sinonggi di suku Tolaki dibuat dari sagu yang dibuat berkuah lalu ditambah ikan segar yang sudah dimasak.
Pohon sagu di Provinsi Sultra, kata dia, tidak pernah "digusur" oleh tanaman sawit karena lahannya memang berbeda secara karakteristik.
"Pohon sagu itu tanaman tradisional dan turun-temurun, tumbuh di daerah lembab atau banyak air. Beda kalau dengan tanaman sawit yang hidup di kawasan tropis," ucap Achmad.
Di samping itu, ia bilang bisnis perkebunan, termasuk sawit dan kakao atau cokelat, di Sultra didominasi oleh suku pendatang, khususnya suku Bugis dari Makassar.
"Kalau suku Tolaki yang berkebun umumnya jadi petani kakao. Tetapi tetap banyak juga yang jadi petani sawit seperti keluarga saya," tegas Achmad AS.







Komentar Via Facebook :