https://www.elaeis.co

Berita / Siku Kata /

Merbak Laut Ku: Kita Adalah...

Merbak Laut Ku: Kita Adalah...

Perahu nelayan di bibir lautan Pasangkayu, Sulawesi Barat. Foto: Aziz


Sekali-kali, perlu juga tampil dalam corak “kita adalah”..., walau terkesan bak defenisi kamus. 

Di muka bumi ini, keragaman bentuk dan fiil adalah bawaan terberikan (given). Kita memahkotakan diri 1908, lalu didentumkan lagi pada 1928, dilanjutkan pucuk muktamarnya pada 1945, menjadi Indonesia yang adalah itu. Meng-‘ada’ adalah substansi. Sementara itu, ‘adalah’ ialah domain yang hendak mendaras siapa kita di tengah khalayak. 

Pun, kita bukan itu, bukan ini, bukan depan, bukan belakang, bukan atas, tak bawah. Bukan putih, tak hijau, bukan biru dan seturut warna-warna yang dikenal atas dunia. Kita memahkota diri sebagai bangsa lautan yang ditaburi ribuan pulau teramat unik formasi-konfigurasinya. 

Kita adalah negara lautan yang ditaburi pulau-pulau. Di sini hendak dinukil, bahwa lautan itulah ‘benua’ kita. Bukan negara kepulauan, tetapi sekali lagi: negara lautan. 

Kenapa harus gamang dengan istilah lautan? Memang kita punya darat, tapi daratan kita amatlah elok dan molek bila ditatap dari lautan. Sisi ini yang tak dimiliki oleh negara lain. 

Pun, sebagian nama pulau-pulau diberi nama ketika si pemberi nama itu sedang mengarungi lautan, bukan sedang menginjak daratan. Artinya, kita tak meng-ego-kan tanah yang kita injak, namun kita memuliakan tanah itu saat kita mengarungi air laut, selat, segara atau pun samudera. 

Terlalu murahan kalau menyerahkan bentuk dan langgam negara ini berdasarkan maunya orang-orang luar yang bukan asli mukim di rantau sendiri. 

Baca juga: Ada Apa (Petani) Sawit?

Terlalu murah pula, kita menerima dan menyambut ideologi benua yang berbungkus klaim langit sepihak yang dibawa para ‘paderi’ yang belum tentu tajam dan kenyal dengan resam orang-orang pulau yang bertabur di atas lautan itu. Telah ribuan tahun pula membangun tradisi besar, peradaban tinggi dalam langgam dan rempak manusia lautan. 

Kita bukan bangsa benua. Jika pun hendak dialamat sebagai benua, maka benua kita itu biru laut dan hijau rerimbun hutan yang membungkus akal budi dan ruh spiritual. 

Kita menjadi demikian lembut ketika berinteraksi dan relasi dengan bangsa-bangsa lain. Kita bukan bangsa penyergah tak tentu pasal. Ada kalanya kita menyergah dan menghardik, ketika hak terdasar diinjak-injak.

Lalu, apa kerinduan lain yang hendak dinisbahkan setelah kita mendefenisikan diri sebagai kita adalah? Kita merindukan lompatan-lompatan besar, gigantis, walau dimulai sebatang tungkai kaki mungil. 

Tak perlu gamang “melompat”. Peradaban besar, tinggi dan ranggi itu tak bisa melepaskan diri dari satu lompatan besar yang dilakukan oleh pemimpinnya yang tak mudah manut dalam idiom-idiom tua dan biasa-biasa saja. 

Melompat itu sendiri artinya ingin keluar dari zona nyaman, ingin memberontak, melampaui diri yang beku, kaku dalam tembok (something in mural).

 

Ingin dan rindu akan tantangan serba tak terduga dan tak terukur yang berada di depan sana. Lompatan besar itu tengah dan sedang dilakukan oleh Jokowi? 

Simak dan cermatilah beberapa lompatan orang biasa yang menjelmakan dirinya sebagai orang ‘luar biasa’. “Letih memerankan diri sebagai orang biasa”, ujar Sitor Situmorang. 

Keletihan ini, mengganggu dan merisaukan agar bisa melompat dan meloncat, keluar dari defenisi ‘adalah’ yang tercantum dalam andaian orang banyak, termaktub dalam kamus dan naskah buku teks.
 
Kita keluar dari selonsong gosong penjajah dulu, hadir dengan niat besar untuk mengubah diri menjadi bangsa yang diakui. Mampu menegakkan kepala kala berjalan di antara bangsa￾-bangsa lain yang lebih maju dan matang. 

Kini, kalender usia sudah menjejaki usia dewasa, namun kita masih terbelenggu kaidah-kaidah yang serba ‘kacukan”; ada yang sibuk mengelus-elus paham liberal, ada yang mabuk dengan kapitalisme, ada yang heboh menguntumkan moda khilafiyah-syariah. 

Sempalan kiri Marxis tak sedikit diduga berkeliaran. Semua bentuk benturan itu sejatinya harus menjadi ‘ramuan’ (ingredient) sehingga Indonesia tampil lemak dan kukuh dengan gayanya sendiri. 

Terlahir sebagai bangsa ragam latar belakang budaya lokal namun tetap dalam kuntum makhluk tropis. Tak mungkin pula dengan mudah dan murah, sekonyong-konyong mengubah diri menjadi makhluk benua dari tanah-tanah nun dengan gaya serba radikalis￾puritan imporan. 

Kita makhluk lautan tropis, tampil dalam renyah senyum yang senantiasa mekar, menghindari perilaku bengis dan menghardik ketika berinteraksi dengan tetangga atau jiran, apatah lagi dengan bangsa-bangsa asing. Kita menjadi besar, berkat kehadiran orang-orang lain.

Ranum senyum dan ramah ini mungkin disalah-tafsirkan sebagai bangsa penurut, mudah diatur, longkah mengolahnya. Oooouuu... tunggu dulu. 

Senyum mekar, ramah menyapa bukanlah menunjukkan bahwa tanpa pendirian, tanpa ilitizam dan jati diri. Kita diturunkan Tuhan di muka bumi tropis ini, tentu hadir dengan sejumlah ‘rahasia-rahasia Tuhan’, sejumlah ‘misteri-misteri tropis’ yang harus dipertahankan hingga dunia ini khatam. Sebuah pertanggung-jawaban spiritual-langit. 

Maka, tampillah dengan ‘kita adalah’. Indonesia itu bakal menjadi dan sedang menjalani proses menjadi dan menjadi. Proses ini berlangsung tiada henti. 

Dalam keragaman dan perbedaan itulah kita saling jahit-menjahit. Kalau sama semuanya, maka akan runtuh lah bangsa ini, hapuslah negara ini. 

Viva Indonesia, senantiasa mengukir dan melukis serba ‘adalah’ itu, yang membuat kita lain, unikum, tampil dalam gaya selamba (relax) bangsa tropis, tak mengklaim kebenaran sepihak, merasa paling benar sendiri (solipsistic), tak menghardik orang-orang yang tak sebarisan. Tak mudah menyergah siapa pun yang dianggap tak sealiran. 

Hadirlah dalam keragaman tak terperikan. Tuhan itu esa, tapi Dia menyukai keragaman sebagai hiburan-Nya. Bagi kita, mungkin sebagai pertanggung-jawaban spiritual? Maka, petiklah hikmah dan fadhilat keragaman itu dalam maslahat hidup berjiran (ko-habitasi) lunak...

Yusmar Yusuf
BACA BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Komentar Via Facebook :