https://www.elaeis.co

Berita / Dewandaru /

Merampas Hak Anak

Merampas Hak Anak

ilustrasi seseorang sedang mendaki gunung. foto: wia.id


Ilmu hikmah..

"Beri mereka kesempatan mengatasi masalahnya sendiri, syukur kalau mereka bisa menciptakan masalah buat dirinya yang makin sulit dari waktu ke waktu, tapi teratasi semua dengan baik. Ingat, anak berhak mengatasi masalahnya," 

"Nah, kalau mereka diberi soal-soal mudah, serba dapat kemudahan, maka saat mengahadapi kesulitan hidup, mereka tidak mampu mengatasi. Bahkan belum apa-apa sudah mengeluh duluan".

Penggalan kalimat di atas adalah pesan seorang sahabat ke saya sekitar tahun 2000 lalu. Kebetulan beliau pejabat publik, harta nya pun berlimpah. Beliau berkisah merasa salah medidik anaknya, terlibat narkoba padahal sudah berkeluarga. Kerjanya jual harta warisan saja.

Saya masih ingat persis seperti apa suasana saat itu. Di depan saya, menangis sejadi-jadinya. Tidak air mata saja yang keluar, tapi hingga air mata bathin. Saya betul-betul iba melihatnya. Terasa sulit sekali untuk dikendalikan.

Sepekan kemudian setelah pertemuan itu, beliau meminta saya lagi menemaninya dalam kesendirian. Curhat lagi, makin menyedihkan lagi. Saya tidak bisa berbuat apa-apa selain menenangkan. Karena saya tahu diri siapa yang sedang saya hadapi.

Di pertemuan itu beliau berkisah bagaimana orang tua mendidiknya dengan kasih sayang. Bersahaja tapi penuh dengan tempaan sekalipun harta orang tuanya terbilang banyak di kampungnya. 

Terasa betul sesekali tidak semua keinginannya dipenuhi oleh orang tuanya. Agar tahu rasanya jika permohonannya tidak khabul. Agar tahu bahwa ada proses jika ingin mendapatkan yang enak-enak. Agar tahu caranya menghargai apa yang sudah dimilikinya. Agar tahu seperti apa perasaan tetangganya yang nasibnya tidak sebaik dirinya.

Bahkan kami membahas sepintas juga soal problemtika masyarakat Indonesia. Maklum, beliau pejabat. Bahwa beberapa komoditas pangan, justru mengalami kemunduran. Penambahan kapasitas produksi tidak linier dengan makin besarnya kapasitas konsumsi pangan Indonesia. 

Mungkin juga karena semua serba mudah didapat. Misal subsidi dan bansos. Jadi kurang semangat berpartisipasi apalagi berusaha agar makin inovatif lagi. 

Maka jika program itu ditiadakan bisa jadi sumber dismotivasi apatis. Karena tidak dibiasakan mengatasi kesulitannya.


 

Wayan Supadno
BACA BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Komentar Via Facebook :