https://www.elaeis.co

Berita / Nusantara /

Menyoal Duit Pungutan BPDPKS

Menyoal Duit Pungutan BPDPKS

Presiden Jokowi menyiram bibit kelapa sawit Program PSR di kawasan Rokan Hilir. Foto: Ist


Jakarta, elaeis.co - Selama ini banyak petani yang tidak tahu bahwa sejak Juli 2015 Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) sudah memungut duit dari 24 produk yang bersumber dari olahan Tandan Buah Segar (TBS).

Sebenarnya pungutan ini bermula dari Peraturan Menteri Keuangan (Permenkeu) Republik Indonesia Tentang Tarif Layanan Badan Layanan Umum Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit Pada Kementerian Keuangan nomor: 114/PMK.05/2015 pasal 3 ayat 2 yang menyebutkan kalau tarif pungutan tadi dikenakan kepada; 1. pelaku usaha perkebunan kelapa sawit yang melakukan ekspor komoditas perkebunan kelapa sawit, Crude Palm Oil (CPO) dan produk turunannya. 2. Pelaku usaha industri berbahan baku hasil perkebunan kelapa sawit, dan 3. eksportir atas komoditas perkebunan kelapa sawit dan/atau produk turunannya.�

Tapi sebulan kemudian Permenkeu ini dirubah lagi dengan Permenkeu nomor 133/PMK.05/2015 meski perubahannya tidak substansial. Artinya, besaran tarif pungutan yang dibikin pada Permenkeu sebelumnya masih sama.�

Pungutan untuk Buah Sawit, Biji Sawit dan Kernel Kelapa misalnya dipatok US$20 perton. Lalu Bungkil (Oil Cake) dan residu padat lainnya dari buah sawit, biji, dan kernel Kelapa Sawit US$20 perton, Tandan Kosong Sawit US$10 perton, Cangkang Kernel Sawit dalam bentuk serpih dan bubuk dengan ukuran partikel lebih besar atau sama dengan 50 mesh (ukuran dari jumlah lubang suatu jaring atau kasa pada luasan 1 inchi persegi jaring) US$10 perton.

Kemudian Crude Palm Oil (CPO), Crude Palm Kernel Oil (CPKO), Crude Palm Olein, Crude Palm Stearin, Crude Palm Kernel Olein dan Crude Palm Kernel Stearin masing-masing US$50 perton. Palm Fatty Acid Distillate (PFAD) dan Palm Kernel Fatty Acid Distillate (PKFAD) masing-masing US$40 perton.�

Split Fatty Acid dari Crude Palm Oil, Crude Palm Kernel Oil, dan/ atau fraksi mentahnya dengan kandungan asam lemak bebas kurang lebih 2%, Split Palm Fatty Acid Distillate (SPFAD) dengan kandungan asam lemak bebas kurang lebih 70%, Split Palm Kernel Fatty Acid Distillate (SPKFAD) dengan kandungan asam lemak bebas kurang lebih 70%, Refined, Bleached and Deodorized (RBD) Palm Olein, masing-masing US$30 perton.

Refined, Bleached, and Deodorized (RBD) Palm Oil atau lebih dikenal dengan minyak goreng sawit, RBD Palm Stearin, RBD Palm Kernel Oil, RBD Palm Kernel Olein, RBD Palm Kernel Stearin, masing-masing US$20 perton.�

RBD Palm Olein dalam kemasan bermerk dan dikemas dengan berat netto kurang lebih 25 Kilogram, Biodiesel dari Minyak Sawit dengan Kandungan Metil Ester lebih dari 96,5% - volume, masing-masing US$20 perton.�

Ini berarti, tidak hanya pungutan CPO saja yang ada, seperti yang selama ini diketahui oleh para petani sawit. Di satu sisi, peran petani sawit untuk menghasilkan semua turunan tadi sangat besar. Sebab dari sekitar 14 juta hektar kebun kelapa sawit di Indoensia, Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) menyebut 39 persennya adalah kebun rakyat. Ini berarti, peran petani sawit di sana mencapai 39 persen.�

Lalu apa yang kemudian didapatkan oleh petani dari dana pungutan tadi? Jawaban yang nyata masih hanya bantuan replanting. Itupun sarat dengan aturan main yang berbelit-belit hingga kemudian, program yang jamak disebut Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) itu tak berjalan lancar dan boleh disebut nyaris gagal.�

Sebab menurut Dirut Riset Perkebunan Nasional, Teguh Wahyudi, capaian PSR pada program 2017-2018 enggak sampai 14 persen. Dari 180 ribu hektar yang ditargetkan, hanya sekitar 8000 an hektar yang berhasil.�

Alhasil muncul pertanyaan, kemana duit pungutan sebanyak itu dibikin BPDPKS? Kalau pun ada yang mengalir ke petani di luar PSR, masih hanya bantuan-bantuan seminar dan pertemuan yang digelar oleh Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo).��

Terlepas dari kemana duit tadi, Peraturan di atas tadi kemudian diperbaharui lagi dengan Permenkeu nomor 81/PMK.05/2018 dan terakhir Permenkeu nomor 152/PMK.05/2018.� ��

Permenkeu yang terakhir ini ternyata kata Anggota Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN) Fadhil Hasan justru jadi masalah baru. Sebab di Permenkeu yang terakhir itu ada pembatasan pungutan. Artinya, kalau sebelumnya pungutan tak memandang harga jual internasional, di peraturan terakhir itu, pungutan sudah dibatasi oleh harga jual internasional.�

Kalau harga jual internasional berada di bawah level US$570 per ton, pemerintah akan menolkan seluruh tarif ekspor. Lalu kalau harga berada di kisaran US$570 sampai US$619 perton, pungutan ekspor 25 persen dari tarif pungutan normal dan pungutan ekspor baru bisa normal kalau harga jual di atas US$619.

Nah, ini yang kata Fadhli tadi menjadi masalah. Dengan aturan main tarif pungutan terbaru itu, pelaku usaha disebut-sebut lebih memilih menjual langsung CPO nya tanpa diolah dulu.� �

Salah satu negara tujuan ekspor CPO tadi kata Fadhli adalah Malaysia. Di sana impor minyak sawit mentah murah asal Indonesia diolah dan kemudian diekspor dalam bentuk turunan dengan harga yang bersaing ke pasar potensial.

"Salah satu yang diuntungkan dengan kebijakan ini adalah Malaysia. Mereka bisa memperoleh CPO dengan harga murah dan setelah diolah, mereka ekspor ke India yang menjadi salah satu pasar yang besar," kata Fadhil seperti dilansir bisnis.com.

Lagi-lagi muncul pertanyaan. Kenapa pelaku usaha justru memilih langsung ekspor minyak mentah setelah pungutan dibatasi? Apakah selama ini para pelaku usaha kecipratan duit pungutan tadi?

India kata Fadhil menetapkan tarif impor untuk produk kelapa sawit asal Malaysia 5% lebih rendah dibanding asal Indonesia sejak Januari lalu.

New Delhi menetapkan pemangkasan tarif impor CPO dari 44 persen menjadi 40 persen untuk minyak sawit mentah asal Indonesia, Malaysia, dan negara Asia Tenggara lainnya.�

Tapi untuk produk olahan, pemangkasan tarif impor dari Malaysia ditetapkan dari 54 persen menjadi 45 persen. Namun impor dari Indonesia ditetapkan 50 persen.

Bahwa selama ini para pelaku usaha yang menikmati dana pungutan tadi semakin terjawab setelah Fadhil menyebut bahwa penangguhan pungutan ekspor demi mengangkat harga CPO di tingkat petani telah membikin industri hilir kelapa sawit bergerak stagnan lantaran sumber pendanaan berkurang.�

Kalau benar pelaku usaha yang menikmati duit pungutan BPDPKS tadi, ini berarti para pelaku usaha untung dua kali. Sebab selain dapat kucuran duit, pelaku usaha yang sumber bahan baku pabriknya berasal dari petani, juga ketiban untung oleh harga dan aturan yang dipatok oleh pabrik.��

BPDPKS sendiri belum memberikan keterangan resmi terkait aliran duit pungutan ini.�Hhmmm...

abdul aziz�


BACA BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Komentar Via Facebook :

Berita Terkait :