Berita / Nasional /
HSN 2025
Mengulik Sejarah Panjang Sawit Indonesia
Jakarta, elaeis.co - Setiap tanggal 18 November, Indonesia merayakan Hari Sawit Nasional (HSN), sebuah momen untuk menengok kembali perjalanan panjang komoditas yang dijuluki sebagai emas hijau ini.
Di balik geliat industri sawit yang kini menopang ekonomi jutaan keluarga, ada kisah sejarah yang panjang, penuh kejutan, dan berawal dari empat bibit kecil yang didatangkan lebih dari 170 tahun lalu.
Perjalanan sawit di Indonesia dimulai tahun 1848, saat Dr. D. T. Pryce membawa empat bibit kelapa sawit ke Kebun Raya Bogor. Awalnya bibit ini cuma jadi tanaman koleksi dan tanaman hias. Nggak ada yang nyangka kalau empat bibit ini kelak jadi cikal-bakal industri perkebunan terbesar yang pernah dibangun di negeri ini.
Bibit-bibit itu kemudian diuji coba di berbagai wilayah seperti Deli, Pulau Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, dan Maluku. Dari sinilah kisah sawit mulai menancapkan akarnya.
Pada 1878, Deli Maatschappij mulai membudidayakan sawit di Deli, Sumatera Utara. Keberhasilan ini membuat perusahaan Belgia dan Jerman ikutan terjun membuka perkebunan sawit komersial di beberapa titik strategis Sumatera.
Tahun 1911 jadi tonggak penting. Perusahaan Belgia mulai menggarap Pulau Raja dan Sungai Riput, sementara perusahaan Jerman membuka kebun di Tanah Itam Ulu.
Industri sawit mulai menggeliat, investor berdatangan, dan kebutuhan akan pabrik pengolahan pun meningkat. Itu sebabnya pada 1918 dan 1922, Indonesia membangun pabrik kelapa sawit (PKS) pertama.
Setelah sawit berkembang di level perkebunan, Indonesia mulai memikirkan nilai tambah. Tahun 1976, lahirlah industri hilir pertama bernama PAMINA di Adlina, Sumatera Utara. Dari sinilah perjalanan sawit nggak cuma soal kebun, tapi mulai menjelma menjadi bahan baku berbagai produk modern.
Pasca kolonial, banyak perkebunan swasta asing dinasionalisasi. Dari proses inilah muncul embrio BUMN perkebunan, yang kemudian menjadi pemain besar dalam industri sawit nasional hingga sekarang.
Tahun 1977, pemerintah meluncurkan proyek besar bernama NES/PIR (Nucleus Estate and Smallholders) bekerja sama dengan World Bank, ADB, KfW, dan IFAD. Model ini jadi jembatan emas yang menghubungkan perusahaan besar dan petani rakyat.
Dari sinilah mimpi sawit rakyat benar-benar dimulai.
Model PIR terbukti sukses, dengan petani plasma tumbuh pesat, pendapatan mereka meningkat, dan efek dominonya ikut menarik petani swadaya untuk membangun kebun secara mandiri. Sawit bukan lagi komoditas perusahaan besar. Sawit menjadi komoditas rakyat.
Penguatan kebijakan pemerintah, dukungan daerah, dan percepatan laju pengembangan kebun membuat Indonesia bergerak cepat.
Hingga akhirnya tahun 2006, Indonesia resmi menggeser Malaysia sebagai produsen minyak sawit terbesar di dunia, posisi yang masih bertahan hingga hari ini.
Data terbaru Ditjenbun Kementan 2024 mencatat luas kebun sawit Indonesia mencapai 16,38 juta hektare. Angka yang sulit dibayangkan dari empat bibit yang ditanam di Kebun Raya Bogor dulu.
Petani swadaya pun ikut berkembang, dari yang dulu hanya 2%, kini pangsanya melonjak jadi 41%. Ini menunjukkan bahwa sawit bukan cuma milik korporasi besar. Sawit adalah industri inklusif yang membuka jalan bagi masyarakat untuk naik kelas.
Perjalanan sawit adalah kisah yang tidak pernah berhenti berkembang. Dari empat bibit kecil menjadi jutaan hektare kebun yang menopang ekonomi Indonesia hari ini. Dari keraguan ekonom internasional hingga keberhasilan petani plasma dan swadaya. Dari perkebunan kolonial hingga industri modern berteknologi tinggi.
Sawit bukan sekadar komoditas. Sawit adalah perjalanan panjang tentang keberanian, transformasi, dan kerja keras rakyat Indonesia.







Komentar Via Facebook :