https://www.elaeis.co

Berita / Nasional /

Meneropong Permasalahan Sawit dan Sektor Pertanian Lainnya ala Fadhli Ali

Meneropong Permasalahan Sawit dan Sektor Pertanian Lainnya ala Fadhli Ali

Sekretaris APKASINDO Aceh Fadhli Ali. Ist


Aceh, elaeis.co - Kelapa sawit menjadi tempat bergantung bagi jutaan masyarakat di Provinsi Aceh. Sayangnya selama ini persoalan sawit di sana masih belum mendapat perhatian dari pemerintah.

Sebagai contoh, kata Sekretaris APKASINDO Aceh, Fadhli Ali, harga Tandan Buah Segar (TBS) kelapa sawit saat ini masih murah di Bumi Serambi Mekah tersebut.

Bahkan lebih murah dibanding harga di Sumatera Utara, Sumatera Barat dan Riau. Berbedannya pun hingga Rp 300-350/kg atau Rp300.000-350.000 setiap tonnya.

"Itu jumlah yang besar sekali. Seorang petani sawit yang memiliki kebun sawit 10 hektar dengan rata-rata produksi 1 ton saja per hektar maka si petani itu kehilangan duit Rp 3-3,5 juta setiap kali panen. Atau kehilangan kesempatan mendapatkan tambahan penghasilan lebih dari Rp 200 ribu/hari dibanding petani kelapa sawit yang berada di Sumut, Riau dan Sumbar yang memiliki kebun sawit 10 hektar," kata Fadhli Ali saat berbincang dengan elaeis.co, Rabu (15/11).

Fadhli mengatakan, jika dilihat dari sisi luas lahan, Sumbar misalnya memiliki kebun sawit yang lebih sedikit di banding Aceh. Dimana luas kebun kelapa sawit di Provinsi Aceh mencapai 475.000 Hektar. Aceh berada pada peringkat 8 dari sisi luas kebun sawit di Indonesia. Sementara Sumbar peringkat ke 10 dari 22 provinsi sentra kelapa sawit di Indonesia.

Namun selama ini, lanjut Fadhli, harga TBS lebih murah dibanding daerah lainnya. Aceh berada pada urutan 8 atau 9 hasil penetapan harga TBS yang dilakukan DPP APKASINDO, setiap dua kali sebulan atau dua minggu sekali.

"Nah, hal itu adalah tantangan yang butuh satu perhatian dan perjuangan yang sungguh-sungguh supaya petani di Aceh dapat menikmati harga jual TBS yang lebih baik ke depan. Perjuangan untuk itu dibutuhkan sosok atau orang-orang yang memahami permasalahan dan juga potensi bidang perkelapasawitan. Saya memang tidak mengetahui atau tahu semuanya. Akan tetapi karena selama ini saya konsen memberikan perhatian terhadap masalah perkelasawitan khususnya perkebunan sawit rakyat di Aceh, tentu pemahaman saya dalam hal ini lebih kuat dibanding orang lain," ujar pria yang mencalonkan diri sebagai Anggota DPR Aceh pada Pileg 2024.

 

"Berangkat dari pemahaman itu juga maka kemudian saya acap menyampaikan ke publik berbagai permasalahan petani kelapa sawit rakyat di Aceh. Soal perlu di dorong adanya satu pelabuhan ekspor CPO yang reprensentatif dan kegiatan pengiriman CPO dilakukan melalui pelabuhan yang ada di Aceh baik di Barat Selatan maupun di pesisir Timur Utara adalah supaya biaya angkut CPO yang mencapai Rp 600/kg bisa ditekan lebih rendah," imbuhnya.

Menurutnya, jika biaya ekspor CPO Rp600/kg seperti yang dikeluarkan oleh PKS yang memproduksi CPO di wilayah Barat Selatan, maka akan menekan harga beli TBS pada tingkat petani sebesar Rp120/Kg dengan asumsi rata-rata rendemen CPO 20%.

Jika di wilayah Barat Selatan misalnya ada pelabuhan pengiriman CPO maka ongkos angkut CPO bisa ditekan lebih murah misalnya Rp300/kg. Secara tidak langsung pemerintah sudah membantu mendongkrak harga beli TBS sebesar Rp60/kg.

Kemudian rata-rata setiap kabupaten misalnya memproduksi 1.000 ton TBS per hari. Jika dihitung-hitung 1.000.000 kg x Rp 60, maka dalam sehari Rp 60 juta. Jika dikalikan 30 hari, maka setiap kabupaten akan mendapatkan tambahan penghasilan bagi petani sawit setidaknya Rp1,8 miliar.

"Karena ada 8 kabupaten/kota di Barat Selatan, dikali 8 maka ada Rp 14,4 miliar dalam 1 bulan. Ini baru kita hitung di kawasan Barat Selatan saja, belum lagi hilangnya potensi pendapatan tambahan penghasilan petani di sentra kelapa sawit di pesisir Utara dan Timur Provinsi Aceh," ujarnya.

Dari 8 kabupaten/kota di wilayah Barat Selatan, berpotensi mendapatkan tambahan penghasilan dari sektor sawit mencapai Rp172 miliar dalam setahun.

Duit itu bisa didapat bila pemerintah Aceh mengupayakan pengiriman CPO dari pelabuhan yang ada di wilayah sana.

"Kalkulasi seperti itu selama ini masih kurang dari para politisi kita. Padahal melihat potensi meningkatkan pendapatan masyarakat dari persepektif seperti itu lebih riel membawa perubahan kesejahteraan masyarakat," ujarnya.

 

Menurutnya, politisi di Aceh selama ini kurang menaruh minat mencermati peluang peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat Aceh dari apa yang sudah dimiliki rakyat. Bahkan, Fadhli menilai banyak politisi di Aceh 'menina bobo' rakyat dengan isu-isu atau janji manis yang kemudian tidak pernah mampu diraih, karena mimpinya utopis.

"Selama ini karena saya mendapat kepecayaan dari DPP APKASINDO dan teman-teman pengurus APKASINDO di Aceh, maka saya berusaha menjadi orang yang berguna bagi petani kelapa sawit atau pelaku usaha di bidang perkelapa sawitan secara umum," ujarnya.

"Tidak hanya sektor sawit. Melainkan ada banyak persoalan yang dihadapi oleh petani lainnya. Misalnya petani padi, petani pinang, petani Pala di Aceh Barat Daya dan Aceh Selatan dan bahkan juga nelayan," kata dia.

Memang petani padi sekarang tengah beruntung menikmati harga yang bagus akibat pengaruh perubahan iklim produksi gabah nasional sedang turun. Namun, kata Fadhli, mereka sering kali menghadapi harga beli gabah yang murah ketika musim panen tiba. Pada sisi lain petani padi juga menghadapi masalah dengan suplay air atau irigasi.

Dari pengamatannya, perdebatan di gedung DPR Aceh misalnya atau juga di kabuaten/kota, jarang mencuat masalah berapa luas lahan sawah yang beririgasi tehnis, setengah tehnis, irigasi desa atau lahan tadah hujan. Kemudian juga bagaimana soal ketersediaan pupuk tepat pada waktunya tidak pernah diperjuangkan.

Begitu juga masalah pinang yang harganya masih anjlok. Pada tingkat petani dibeli dengan harga hanya Rp 2.000-2.500/kg.

Terus, kata Fadhli, tidak ada yang bersuara soal ini. Petani tidak tahu, pemerintah pun tidak peduli terhadap maslaah ini, DPR juga tidak ada yang bicara.

"Saya ingin bicara masalah mereka, masalah petani padi, pinang, pala dan juga masaah yang dihadapi nelayan. Karena latar belakang pendidikan saya S1 Jurusan Ekonomi Pembangunan, dan S2 atau Master Ilmu Ekonomi, saya memiliki pemahaman yang lumayan baik untuk masalah ekonomi produksi, ekonomi mikro dan makro," kata dia.

"Tapi ketika saya mau bicara terhadap masalah yang dihadapi petani yang memproduksi komoditi seperti itu tadi, kapasitas saya sebagai apa? media tentu tidak akan tertarik mengutip pernyataan atau keterangan saya tentang masalah diluar komoditi kelapa sawit," jelasnya.

 

Karena itu, Fadhli komitmen mencalonkan diri menjadi anggota DPR Aceh. Dalam kapasitas sebagai wakil rakyat tentu Fadhli punya kapasitas untuk menyuarakan atau membawa aspirasi rakyat yang memberikan kepercayaan atau amanah kepadanya.

"Saya bisa bicara soal kelangkaan Bahan Bakan Minyak (BBM), soal harga gabah murah atau kelangkaan pupuk, masalah harga pinang, masalah kebun pala rakyat yang terserang penyakit. Begitu juga masalah-masalah lainnya yang terjadi di tengah-tengah masyarakat," kata dia.

"Saya memang petani, dan bertani adalah pekerjaaan tetap saya. Tapi saya bersekolah dan karena itu saya ingin mengabdikan sepenggal ilmu pengetahuan yang saya pelajari untuk membantu para petani agar pemerintah pengalokasian anggaran ke bidang pertanian lebih besar porsinya dan tepat sasaran," tambahnya.

Menurutnya, perekonomian Aceh akan lebih baik dan maju jika perekonomian rakyat disektor utama atau sektor dominan bertumbuh dan berkembang dengan baik.

"Sektor perdagangan, jasa perbankan, transportasi dan lain-lain termasuk industri berbasis pertanian akan bertumbuh jika sektor pertanian Aceh tangguh dan mandiri. Setalah posisi ini dicapai, maka ke depan atau langkah berikutnya Aceh bisa cepat bertransformasi ke sektor non-agraris, ke sektor industri dan jasa yang jadi lebih dominan," tandas politisi Parta NasDem tersebut.

BACA BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Komentar Via Facebook :