https://www.elaeis.co

Berita / Nasional /

Mencermati Prospek Minyak Sawit Era Trump Mendatang

Mencermati Prospek Minyak Sawit Era Trump Mendatang

Alvin Tai, analis dari Bloomberg (ketiga dari kanan). Foto: Taufik Alwie


Nusa Dua, elaeis.co - Kemenangan Donald Trump dalam kontestasi Pemilu Presiden Amerika Serikat juga menjadi perhatian penting bagi para pelaku ekonomi di Indonesia, khususnya pelaku industri kelapa sawit.

Sebab, terpilihnya Trump sebagai Presiden Ameriksa Serikat periode 2025-2029 akan berdampak pada, salah satunya, adalah terciptanya ketidakpastian pasar minyak nabati.

Pasalnya, Trump terkenal sebagai sosok pemimpin yang ketat menganut kebijakan proteksionisme dengan slogannya “America First” sehingga akan sangat memprioritaskan produksi dalam negeri, termasuk dalam hal ini bahan bakar ramah lingkungan.

Analis dari Bloomberg, Alvin Tai, menilai meskipun Amerika Serikat bukan konsumen utama minyak sawit, namun kebijakan energi di negeri itu yang terus berkembang akan berdampak besar pada pasar minyak sawit global, termasuk Indonesia.

Apalagi ekspor minyak sawit Indonesia ke Amerika Serikat tergolong lumayan. Tahun ini di kisaran 2,5 juta ton, dengan tren meningkat.

Alvin Tai mengatakan, di Amerika Serikat, diesel masih menjadi bahan bakar transportasi kedua terbesar dengan penggunaan mencapai 22%, sementara biofuel hanya mencakup 6% dari total konsumsi bahan bakar transportasi.

“Namun, tren menunjukkan peningkatan penggunaan renewable diesel dan biodiesel, yang diprediksi melampaui konsumsi diesel berbasis petroleum pada tahun 2024 dengan konsumsi mencapai 4,5 juta barrel per hari,” kata Avin Tai pada acara Indonesian Palm Oil Conference (IPOC) di Nusa Dua, Bali, Jumat, 8 November 2024.

Ketersediaan bahan baku ini meningkat dari kurang dari 10 juta ton pada 2021 menjadi sekitar 15 juta metrik pada 2024. Meskipun ada potensi pertumbuhan lebih lanjut, permintaan biodiesel diperkirakan mencapai 25,7 juta ton per tahun.

Sehingga, menurut Alvin Tai, banyak pihak yang pesimistis terhadap tercapainya proyeksi ini mengingat keterbatasan pasokan bahan baku.

 

Saat ini, bahan baku biodiesel dan renewable diesel Amerika Serikat sebagian besar berasal dari minyak kedelai (44%), minyak daur ulang dan lemak (33%), minyak jagung (15%), serta minyak kanola (5%).

Dengan penerapan kebijakan baru berupa kredit pajak 45Z kini menggunakan jejak karbon sebagai tolok ukur, yang menempatkan Used Cooking Oil (UCO) pada posisi teratas dan minyak sawit Indonesia dengan nilai karbon tertinggi (4 Kg CO2 per kilogram).

Mestinya, kebutuhan biodiesel yang tinggi namun kurang didukung ketersediaan bahan baku di Amerika Serikat ini dapat menjadi peluang bagi negara penghasil minyak sawit dan biodiesel untuk menggenjot ekspor ke negeri “Paman Sam” tersebut.

Namun, seperti disebut tadi, sikap proteksionisme Trump diperkirakan akan menghalangi peluang itu. Lihat saja pada salah satu butir janji kampanyenya, yang dipastikan akan diterapkannya. Yaitu, akan menaikkan tarif impor terhadap semua barang dari luar.   

Trump juga diyakini akan menerapkan janji kampanye lainnya di sektor energi. Trump akan mendorong sub-sektor migas dan batu bara dengan meringankan pajak.

Ia juga akan menaikkan intensitas pengeboran minyak di sejumlah wilayah publik.

Ada kesan Trump akan banyak mengandalkan bahan bakar fosil, termasuk untuk transportasi, jika kebutuhan biodiesel mereka tak terpenuhi secara mandiri.

Namun ada janji kampanye lainnya yang dinilai memberi harapan sebagai peluang mendorong ekspor minyak sawit Indonesia ke pasar global. Yaitu, Trump akan berupaya mengakhiri perang Rusia-Ukraina dan perang di Libanon.

Nah, peluang dari sisi ini yang ditangkap Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Eddy Martono. Ia menilai, jika perang berakhir, maka kondisi itu akan sangat mempengaruhi ekonomi global, termasuk meningkatkan ekonomi banyak negara.

“Itu akan mempengaruhi ekspor kita,” ujar Eddy Martono di sela-sela acara IPOC 2024. Ia menjelaskan, jika perang berakhir, ekspor CPO Indonesia berpotensi meningkat, mengingat tidak ada lagi gangguan rantai pasokan global.

 

BACA BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Komentar Via Facebook :