Berita / Pojok /
Membangun Skema Klaim Karbon SAF: Dari Hulu - Hilir Sawit ke Nilai Global
Oleh: Dimas H. Pamungkas*)
Indonesia memiliki modal besar untuk menjadi kekuatan utama dalam transisi energi penerbangan global. Setiap tahun, negeri ini mampu menghasilkan jutaan bahan baku sustainable aviation fuel (SAF) yang dibutuhkan oleh industri penerbangan dunia. Dari industri hulu sawit, dihasilkan sekitar 54 juta ton Crude Palm Oil (CPO) dan Crude Palm Kernel Oil (CPKO) (GAPKI, 2024).
Sedangkan dari hilir sawit juga terdapat potensi lebih dari 6 juta ton bahan baku hasil samping dan limbah seperti Palm Fatty Acid Distillate (PFAD), Used Cooking Oil (UCO), dan minyak Palm Oil Mill Effluent (POME), berdasarkan estimasi neraca massa industri sawit nasional (Penulis, 2025). Semua bahan ini merupakan sumber bahan baku SAF yang rendah emisi, terutama yang berasal dari limbah dan by-product.
Namun kekayaan sumber daya saja tidak cukup. Di era ekonomi rendah karbon, yang dihargai bukan sekadar produk fisik, melainkan nilai karbon yang terkandung di baliknya. Nilai itu hanya dapat diklaim bila ada sistem akuntansi karbon yang kredibel dan diakui secara internasional.
Langkah pertama menuju pengakuan global atas SAF berbasis sawit dan limbah adalah penetapan nilai emisi siklus hidup atau Life Cycle Emission Factor (LCEF) untuk setiap jenis bahan baku. Nilai ini menentukan seberapa besar pengurangan emisi karbon yang dapat diklaim dibandingkan bahan bakar fosil (ICAO, 2023a).
Dari berbagai bahan baku potensial Indonesia, seperti CPO, CPKO, PFAD, dan UCO telah memiliki nilai default LCEF yang diakui oleh ICAO (2023a). Sementara itu, POME yang berpotensi besar menjadi sumber feedstock baru untuk SAF masih dalam proses pengusulan penetapan nilai default LCEF melalui Working Group 5 ICAO agar dapat ikut masuk ke dalam sistem perdagangan karbon penerbangan global dan diakui dalam skema pelaporan emisi negara-negara pengguna.
Secara umum, CPO dan CPKO masih memiliki intensitas emisi yang relatif tinggi karena faktor indirect land use change (ILUC) dalam perhitungan life cycle assessment (LCA). Sebaliknya, hasil samping seperti PFAD serta limbah seperti UCO dan POME memiliki nilai LCEF yang jauh lebih rendah sehingga memberikan penghematan karbon yang lebih besar. Perbedaan ini menjadikan sistem akuntansi karbon sangat penting agar setiap jenis bahan baku dapat diklaim sesuai kontribusi aktualnya terhadap penurunan emisi global.
Dalam upaya membangun pasar SAF dunia, ICAO bersama berbagai lembaga internasional kini tengah menyusun kerangka akuntansi dan pelaporan karbon yang harmonis (ICAO, 2023b). Intinya, setiap ton SAF yang diproduksi, dikirim, dan digunakan harus dapat ditelusuri dengan jelas agar tidak terjadi double counting, yaitu situasi di mana pengurangan emisi yang sama diklaim oleh lebih dari satu pihak.
Tiga model utama akuntansi rantai pasok saat ini sedang dikembangkan, yaitu physical segregation di mana SAF dipisahkan secara fisik dari bahan bakar fosil; mass balance yang memperbolehkan pencampuran asalkan proporsi SAF diverifikasi melalui sertifikasi; dan book and claim model paling fleksibel karena memungkinkan SAF diproduksi dan dikonsumsi di lokasi berbeda, sementara manfaat pengurangan emisi dicatat melalui sistem digital berbasis sertifikat (ICAO, 2023b).
Model terakhir inilah yang paling relevan bagi Indonesia. Dengan pendekatan book and claim, SAF yang diproduksi dari bahan baku domestik seperti PFAD atau POME di Sumatera Utara dan Kalimantan dapat diklaim manfaat emisinya oleh maskapai internasional di belahan dunia lain. Artinya, nilai karbon hasil produksi Indonesia dapat berkelana secara global tanpa harus mengikuti jalur fisik bahan bakarnya.
Sistem seperti ini hanya akan diakui bila dijalankan secara transparan, terverifikasi, dan terhubung dengan global registry. Karena itu, berbagai sistem digital dan registry kini dikembangkan untuk memastikan keabsahan setiap klaim, mulai dari sertifikasi rantai pasok hingga platform perdagangan sertifikat SAF (ICAO, 2023b).
Indonesia memiliki peluang besar untuk membangun registry nasional bahan bakar terbarukan yang terintegrasi dengan sistem internasional. Dengan langkah ini, setiap unit SAF yang diproduksi di dalam negeri dapat tercatat, diverifikasi, dan diakui secara global tanpa kehilangan nilai karbonnya di pasar dunia.
Pasar SAF internasional diproyeksikan tumbuh pesat mulai dekade 2030-an, seiring kebijakan dekarbonisasi maskapai besar di Eropa, Amerika, dan Asia Timur (ICAO, 2023a). Negara yang mampu menyediakan data emisi yang akurat, sistem pelacakan bahan baku yang transparan, serta akuntansi karbon yang kompatibel dengan standar global akan memiliki keunggulan kompetitif yang signifikan.
Dengan kapasitas feedstock yang besar dari minyak sawit, UCO, dan POME yang dapat diolah dengan teknologi Hydroprocessed Ester Fatty Acid (HEFA), Indonesia tidak hanya berperan sebagai pemasok bahan baku, tetapi juga sebagai aktor utama produsen SAF dan ikut berperan dalam sistem nilai karbon global.
Integrasi antara penetapan nilai LCEF global, sistem ketertelusuran bahan baku, dan harmonisasi akuntansi dengan standar penerbangan internasional menjadi langkah strategis menuju pengakuan atas kontribusi dekarbonisasi sektor energi Indonesia.
Era energi bersih tidak hanya menuntut produksi, tetapi juga pembuktian. Dalam ekonomi karbon, angka menjadi sekuat bahan bakar itu sendiri. Bila sawit dan turunannya adalah emas hijau Indonesia, maka sistem akuntansi karbon adalah timbangan yang menentukan nilainya.
Saat dunia berpacu menata mekanisme klaim karbon SAF, Indonesia harus bergerak cepat, bukan sekadar sebagai pemasok bahan mentah, tetapi juga sebagai produsen SAF global, sehingga dapat ikut menikmati sistem perhitungan nilai karbon global. Di situlah posisi strategis Indonesia dalam menuju langit bebas karbon.
*) Peneliti pada Indonesia Palm Oil Strategic Studies, Jakarta







Komentar Via Facebook :