https://www.elaeis.co

Berita / Lingkungan /

Marwan Yohanes Jadi Ketua Pansus Konflik Lahan Masyarakat di Riau

Marwan Yohanes Jadi Ketua Pansus Konflik Lahan Masyarakat di Riau

Marwan Yohanes Jadi Ketua Pansus Konfik Lahan Masyarakat di Riau. Foto istimewa


Pekanbaru, Elaeis.co -�Lewat sidang paripurna DPRD Riau mengesahkan Marwan Yohanes sebagai Ketua Pansus Konflik Lahan Masyarakat dan Perusahaan di Riau. Politisi dari partai Demokrat itu disahkan menjadi ketua pansus sebelumnya pada 11 Oktober 2021 lalu, diusulkan pembentukan Pansus Konflik Lahan Masyarakat dengan Perusahaan di Provinsi Riau oleh DPRD.�

Dimana masing-masing fraksi diminta pimpinan DPRD Riau mengusulkan nama untuk menjadi anggota pansus melalui nota dinas.

Akhirnya dalam sidang paripurna yang dipimpin langsung oleh Ketua DPRD Riau, Yulisman didampingi Wakil Ketua, Hardiyanto, Agung Nurgroho serta di hadiri Gubernur Riau, Syamsuar, Senin (01/11) lalu diputuskan Marwan Yohanes menjabat ketua pansus tersebut.

Sementara, mendampingi Marwan, Robin P Hutagalung duduk di kursi wakil ketua. Sedangkan anggota pansus hadir dari semua fraksi yang ada.

Sebelumnya, merujuk dari data sejumlah lembaga sipil society di Riau, Marwan Yohanes menyebut, jumlah konflik lahan di Riau sangat tinggi. Sepanjang tahun 2016 sampai tahun 2018 saja, tercatat sebanyak 185 kasus dengan luas lahan sengketa sekitar 283.277 hektar.�

Kata Marwan, data itu didukung dengan adanya laporan dari masyarakat yang masuk ke DPRD Provinsi Riau. Diantaranya surat dari masyarakat, Forum Masyarakat Kenegerian Benai, Kenegerian Siberakun, Kenegerian Koto Rajo, Kenegerian Kopah di Kabupaten Kuantan Singingi.

Kemudian ada juga dari Desa Koto Garo Kecamatan Tapung Hilir, masyarakat Pantai Raja Kecamatan Perhentian Raja, Pengelola Hutan Adat Imbo Putuih Desa Petapahan, Ninik Mamak Suku Melayu Bendang dan Suku Melayu Sumpu Kabupaten Kampar.

Lalu laporan masyarakat Langgam Kecamatan Langgam Kabupaten Pelalawan, dari Indragiri Hilir, dari Rokan Hulu, Rokan Hilir. Artinya laporan hadir hampir dari seluruh kabupaten di Provinsi Riau.

"Potret buram mengenai konflik lahan di sektor perkebunan kelapa sawit dan kehutanan ini telah menempatkan Riau sebagai provinsi peringkat pertama yang rawan konflik lahan di Indonesia. Data itu berdasarkan laporan Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada tahun 2017," ujarnya.

Marwan mejelaskan mayoritas penyelesaian konflik di beberapa kabupaten di Riau pada periode 2016-2018 selalu diselesaikan oleh pemerintah pusat. Ia menyampaikan salah satu persoalan yakni munculnya ada HGU yang menurutnya aneh.�

"Diantara buruknya penerbitan izin� tentang lahan, ada HGU yang masa berlaku berakhir tahun 2018, tapi sudah diperpanjang 13 tahun sebelumnya yaitu sejak tahun 2005. Seperti yang diterbitkan oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) untuk salah satu perusahaan perkebunan kelapa sawit di Provinsi Riau dalam suratnya, Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor: 38/HGU/BPN/2005 tentang Pemberian Perpanjangan Waktu Hak Guna Usaha atas tanah yang terletak di Kabupaten Kuantan Singingi Provinsi Riau," paparnya.

Lanjutnya, pada putusan itu memutuskan menetapkan pertama, memberikan kepada salah satu PT perpanjangan jangka waktu Hak Guna Usaha Nomor 1 Cengar, Kopah, Koto Rajo selama 25 tahun sejak berakhir 31 Desember 2018 atas tanah seluas 11.260 hektar sebagaimana diuraikan dalam surat ukur tanah 2 Mei 1988 Nomor 49441988 terletak di Kecamatan Kuantan Mudik dan Kuantan Hilir Kabupaten Kuantan Singingi dan seterusnya.

Pada halaman terakhir keputusan tersebut diterbitkan di Jakarta pada tanggal 18 April 2005. Kepala Badan Pertanahan Nasional, ditandatangani, cap, nama, NIP.�

�Inilah salah satu contoh buruknya penanganan konflik lahan, penguasaan lahan, dengan cara-cara yang tidak benar di republik ini. HGU berakhir tahun 2018, sudah diperpanjang 13 tahun sebelum HGU berakhir, yaitu pada tahun 2005,� ujar Marwan.

Tak hanya itu, ada juga beberapa kepala daerah di Provinsi Riau tersandung kasus hukum yang berkaitan dengan pemberian izin merubah status lahan karena pihak perusahaan melakukan tindakan melawan hukum untuk mendapatkan legalitas tanah tersebut. Ini suatu bukti adanya proses yang tidak benar dalam kepemilikan lahan dalam bentuk hak guna usaha, maupun penerbitan sertifikat.

"Konflik ini menuntut ranah kebijakan yang harus segera diselesaikan dan dimediasi, sebagai sebuah pertanggungjawaban wakil rakyat kepada publik. Selama ini pemerintah daerah, kabupaten dan provinsi belum menjadikan kebijakan sebagai sebuah upaya solutif terhadap masyarakat yang terjebak dalam konflik lahan ini," terangnya.

"Sebagai sebuah catatan, banyak pihak menilai,� segala persoalan konflik lahan selalu diserahkan kepada pemerintah pusat, yakni KLHK, sementara Dinas Kehutanan belum mempunyai sistem yang terintegrasi dalam menangani konflik tersebut," imbuhnya.

Dirinci Marwan, tercatat selama tiga tahun terakhir 283.277 hektar. Di Kabupaten Bengkalis, yang memiliki konflik lahan paling tinggi, yaitu mencapai 83.000 hektar lebih. Di urutan kedua Kabupaten Siak yaitu 70.000 hektar lebih, Pelalawan, 52.000 hektar lebih, Indragiri Hilir, 44.000 hektar lebih dan Kampar 36.000 hektar lebih serta Kabupaten Kuantan Singingi 23.000 hektar lebih.

BACA BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Komentar Via Facebook :