Berita / Nasional /
Marak Kampanye Negatif, CPOPC Bongkar Alasan Sawit Sulit Tersaingi
Ilustrasi - tanaman kelapa sawit.
Jakarta, elaeis.co - Di tengah maraknya kampanye negatif yang dilancarkan beberapa negara, Council of Palm Oil Producing Countries (CPOPC) menegaskan bahwa keunggulan sawit tidak bisa dipandang sebelah mata.
Wakil Sekretaris Jenderal CPOPC, Musdhalifah Machmud, menjelaskan bahwa produktivitas sawit yang jauh lebih tinggi dibandingkan minyak nabati lain adalah alasan utama sawit kerap menjadi sasaran kampanye kompetitor.
Menurut Musdhalifah, sawit mampu menghasilkan sekitar 4–5 ton per hektare, sementara kedelai hanya 0,4 ton, rapeseed 0,2–0,3 ton, dan bunga matahari bahkan tidak sampai 1 ton per hektare. Perbedaan produktivitas ini membuat sawit menjadi komoditas yang sulit ditandingi.
“Tanpa kampanye negatif, industri dunia kemungkinan besar akan beralih ke minyak sawit karena efisiensi dan daya saingnya,” ujar Musdhalifah dalam keterangannya.
Kondisi ini diperkuat oleh data penggunaan lahan global. Seluruh minyak nabati dunia memanfaatkan 323,5 juta hektare untuk memenuhi kebutuhan sekitar 260,92 juta ton, sementara sawit hanya memanfaatkan 8 persen lahan, namun mampu menyumbang 34 persen kebutuhan minyak nabati dunia.
Angka ini menegaskan dominasi sawit dan menjelaskan mengapa negara pesaing, khususnya di Eropa dan Amerika, kerap melancarkan kampanye negatif.
Musdhalifah menambahkan, kebutuhan global terhadap sawit terus meningkat, bukan hanya sebagai minyak makan, tetapi juga untuk biodiesel dan berbagai bahan industri.
Data Oil World 2025 mencatat total ekspor sawit dunia pada Juni–Juli 2025 mencapai 9,9 juta ton, naik 1,1 juta ton dibanding periode sama tahun sebelumnya. Hal ini menandakan bahwa permintaan sawit tidak menurun, justru semakin meningkat seiring kesadaran dunia akan keunggulan produktivitasnya.
Selain itu, harga sawit kini mulai bersaing dengan minyak nabati lain. Jika sebelumnya harga sawit selalu lebih rendah dari kedelai, kini justru lebih tinggi.
Fenomena ini terjadi karena kebutuhan sawit yang besar di pasar global, sementara produksi minyak nabati lain relatif rendah. “Mereka khawatir volume dan kebutuhan sawit mulai menekan pasarnya. Tidak heran kalau kampanye negatif terus muncul,” jelas Musdhalifah.
Keunggulan sawit juga terlihat dari efisiensi penggunaan lahan. Proyeksi kebutuhan minyak nabati dunia pada 2050 diperkirakan meningkat hingga 200 juta ton.
Jika menggunakan komoditas selain sawit, lahan yang dibutuhkan akan mencapai ratusan juta hektare. Dengan sawit, kebutuhan tersebut dapat dipenuhi hanya dengan 48 juta hektare, menjadikannya solusi paling efisien dan berkelanjutan.
Musdhalifah bahkan mengajak negara-negara Amerika Latin untuk ikut menanam sawit dan bergabung dalam CPOPC.
“Kami bisa berbagi pengalaman menanam sawit yang baik. Mereka mengakui kualitas sawit Indonesia paling unggul dan membutuhkan keahlian kita,” ujarnya.
CPOPC menekankan bahwa kampanye negatif bukan cerminan kelemahan sawit, melainkan bentuk kompetisi di pasar global.
Dengan produktivitas tinggi, efisiensi lahan, dan potensi pasar yang terus meningkat, sawit Indonesia tetap menjadi primadona minyak nabati dunia.
Upaya edukasi publik dan promosi berbasis fakta serta data ilmiah menjadi kunci untuk menghadapi tekanan internasional sekaligus memperkuat posisi sawit di mata dunia.







Komentar Via Facebook :