Berita / Nusantara /
Makin Runyam Setelah LE Dibuka
Mahasiswa beasiswa sawit yang ikut aksi keprihatinan di Jakarta bulan lalu. foto: ist
Jakarta, elaeis.co - Tadinya para petani kelapa sawit beranggapan bahwa begitu larangan ekspor (LE) dibuka, harga Tandan Buah Segar (TBS) sawit mereka bakal segera berangsur naik.
Anggapan itu makin klop kalau dihubungkan dengan omongan Presiden Jokowi yang menyebut, larangan ekspor itu sengaja dibuka demi 17 juta petani sawit dan pekerja sawit.
Tapi apa daya. Yang dirasakan petani sawit justru makin nelangsa. Di Kalimantan sudah muncul cerita kalau TBS petani sudah jadi makanan ternak lantaran tak laku.
Satu persatu Pabrik Kelapa Sawit (PKS) mengangkat 'bendera putih' sebagai tanda tak bisa lagi membeli TBS petani lantaran tangki timbun Crude Palm Oil (CPO) nya sudah full.
Di belahan Indonesia lainnya, sejumlah PKS malah sudah bangkrut dan tutup gara-gara CPO nya tak kunjung bisa dijual.
Sederet kenyataan inilah yang kemudian membikin Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) gerah dan menyusun rencana untuk menggelar aksi lagi.
Ketua Umum DPP Apkasindo, Gulat Medali Emas Manurung mengatakan, sasaran mereka adalah kantor Kementerian Perdagangan (Kemendag).
Ratusan pengurus Apkasindo dari 146 Dewan Pengurus Daerah (DPD) yang berada di 22 pengurus Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) bakal menggelar ‘rapat gabungan' bersama Dewan Pimpinan Pusat (DPP) di depan kantor kementerian yang dianggap sebagai biang kerok kekacauan harga TBS itu
"Anak-anak kami yang kuliah di 124 kampus dan tergabung dalam Forum Mahasiswa Sawit (FORMASI) Indonesia juga bakal ikut," suara ayah dua anak ini terdengar bergetar saat berbincang dengan elaeis.co tadi malam.
Dari depan kantor Kemendag itu kata Gulat, mereka akan berjalan kaki ke Istana Negara untuk mengadukan nasib mereka kepada Presiden Jokowi."Hidup kami dan anak-anak kami sudah terancam," katanya.
Auditor Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) ini mewanti-wanti agar siapapun jangan sesekali mengatakan kalau apa yang mereka lakukan diboncengi oleh kepentingan pihak lain.
"Kami hanya memikirkan ‘dapur’ kami yang sudah nyaris tak ngebul, dan apapun akan kami lakukan ketika ‘dapur’ kami terganggu. Saya rasa siapapun akan seperti itu saat ‘dapur’nya terganggu,” tegasnya.
Mestinya kata Gulat, Mendag paham dengan isi pidato Presiden Jokowi pada 19 Mei lalu. Tapi yang ada malah Kemendag membikin kekacauan baru dengan menghadirkan double beban terhadap harga TBS Petani.
Yang membikin makin miris itu kata Gulat, Kemendag dan Kementerian Perindustrian saling meniadakan di kebijakan masing-masing.
“Tengoklah isi Permendag dan Permen Perindustrian tentang Minyak Goreng Sawit (MGS), saling tumpang tindih. Lagi-lagi dampaknya, harga TBS jebol ke harga terendah sejak tanggal 23 Mei dan kami petani sawit menjadi korban utamanya,” ujar Gulat.
Seharusnya kata Doktor ilmu lingkungan Universitas Riau ini, selepas pencabutan larangan ekspor itu, Kemendag cukup melanjutkan program subsidi MGS curah dan memberlakukan subsidi MGS kemasan sedehana.
Lalu untuk memastikan komitmen korporasi sawit pada ketersediaan bahan baku MGS domestik, Kemendag cukup memberlakukan Domestic Market Obligation (DMO).
“Tak perlu ada Domestic Price Obligation (DPO) lantaran “kran harga” sudah diatur di Pungutan Ekspor (PE) yang cukup tinggi itu. Kan sudah naik dari USD175 per ton menjadi USD375 per ton,” katanya.
Dengan PE USD375 per ton kata Gulat, tahun ini potensi PE yang terkumpul mencapai Rp140 triliun. Sementara kebutuhan untuk program MGS hanya Rp20 triliun setahun.
"Ingat, duit PE yang terkumpul di BPDPKS itu bukan duit APBN lho, tapi hasil ‘urunan' pelaku sawit. Petani sawit menjadi penyumbang utama; Rp920 per kilogram dan kami ikhlas itu digunakan untuk mensubsidi MGS curah dan kemasan sederhana," katanya.







Komentar Via Facebook :