Berita / Iptek /
Mahasiswa UMRI Teliti HPP Sawit, Sudah Segini Katanya...
Seorang pekebun sedang memuat TBS ke mobil pick up nya. foto: daru
Pekanbaru, elaeis.co - Dalam kondisi sekarang, kocek para pekebun kelapa sawit maupun perusahaan masih tergolong aman.
Sebab Harga Pokok Produksi (HPP) Tandan Buah Segar (TBS) kelapa sawit masih di angka Rp670,26 perkilogram.
Artinya, kalau misalnya harga TBS saat ini berada di angka Rp2500 perkilogram, pekebun masih bisa mengantongi duit Rp1.829,74 per kilogram.
Adalah kelompok 6 mahasiswa program studi (prodi) Akuntansi Universitas Muhammadiyah Riau (UMRI) yang menemukan HPP sebesar itu.
Dari Januari hingga Juni 2021, Linda Hetri Suriyanti, SE.Ak.M.Ak.CA membimbing kelompok 6 tadi melakukan penelitian di salah satu perusahaan di Kabupaten Rokan Hilir (Rohil) Riau.
"Kami memakai metode full costing, metode yang menitikberatkan penelitian pada semua yang membebani produksi. Baik yang berperilaku tetap maupun tidak," cerita Linda kepada elaeis.co, kemarin.
Misalnya kata Linda, biaya bahan baku seperti herbisida, insektisida dan pupuk. Terus biaya tenaga kerja langsung (upah perawatan, upah panen, upah muat TBS, upah langsir TBS).
"Ada juga Biaya Overhead Pabrik (BOP). Yang masuk ke dalam BOP adalah upah pengawas dan biaya lainnya seperti listrik," Linda mengurai.
Lantaran penelitian dilakukan selama enam bulan, Linda yakin bahwa data-data yang diperoleh, sudah tergolong lengkap.
"Nah, HPP yang Rp670,26 tadi, belum tergolong tinggi kalau dibandingkan dengan harga jual TBS saat ini walaupun, HPP itu sudah lebih tinggi dari sebelumnya. Sebelumnya HPP perusahaan masih sekitar Rp580-Rp630 perkilogram," ujar Linda.
Walau HPP tadi belum tergolong tinggi, Linda tetap saja mengingatkan agar pekebun jangan sampai terlena.
"Makin rendah biaya produksi, nilai produksi akan meningkat. Biaya produksi bisa ditekan lewat inovasi. Ingat, pupuk, apalagi pupuk kimia, menjadi angka paling besar dalam HPP itu, mencapai 60%," katanya.
Meski begitu, besaran angka ini kata Linda masih bisa ditekan dengan memakai pupuk kompos, baik pakai kotoran hewan maupun pelepah kelapa sawit yang dipotong-potong saat proses panen.
Inovasi yang dibilang Linda ini agaknya musti segera dilakukan oleh para pekebun. Sebab data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) menyebut bahwa kenaikan HPP lebih kencang dibanding kenaikan volume produksi dan harga jual.
Baca juga: PASPI: Tak Segera Berbenah, Pelaku Sawit Bangkrut!
Data GAPKI 2008-2020 menyebut, HPP rata-rata 5% pertahun sementara kenaikan produksi dan harga hanya 1,8% pertahun.
Yang semakin memicu kekhawatiran adalah, GAPKI juga menyebut bahwa 12 tahun terakhir, produktivitas TBS Indonesia telah menyusut sebesar 1,9% per tahun akibat pertambahan umur.
"Kalau harga Crude Palm Oil (CPO) kembali ke Rp8 ribu-Rp9 ribu per kilogram atau Tandan Buah Segar (TBS) melorot ke angka Rp1500 perkilogram, maka pelaku sawit bangkrut," kata Direktur Eksekutif PASPI, Tungkot Sipayung saat berbincang dengan elaeis.co.
Selain efisiensi yang dibilang Linda tadi, pemerintah kata Tungkot musti bergegas menuntaskan program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR).
"Program ini harus berhasil. Terus, booming harga yang sedang terjadi, duitnya jangan dipakai untuk hal yang tak penting. Pakailah itu untuk meningkatkan produktivitas kebun, baik untuk replanting maupun perbaikan Good Agriculture Practices (GAP)," pesan Tungkot.
Kekhawatiran soal HPP ini sebenarnya tidak hanya terjadi pada sektor kelapa sawit. Di non sawitpun, seperti pada ternak dan hortikultura, Wayan Supadno, sudah selalu mengingatkan pentingnya menekan HPP itu.
Lelaki 54 tahun yang sering dipanggil 'Pak Tani' ini bilang bahwa HPP yang rendah akan membikin harga jual hasil produksi menjadi kompetitif.






Komentar Via Facebook :