https://www.elaeis.co

Berita / Serba-Serbi /

LPSK: Kapolri Harus Hukum Polisi yang Ancam Korban Perkosaan di Riau

LPSK: Kapolri Harus Hukum Polisi yang Ancam Korban Perkosaan di Riau

Edwin Paetogi, foto Jawa Pos


Pekanbaru, Elaeis.co - Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menyesalkan dugaan ancaman dari polisi ke seorang ibu yang menjadi korban perkosaan inisial Z (19) ibu rumah tangga di Kabupaten Rokan Hulu, Riau. 

Wakil Ketua LPSK, Edwin Partogi Pasaribu juga menyayangkan adanya ancaman kriminalisasi kepada korban jika tidak mau berdamai. Ancaman itu diabadikan korban ke dalam video dengan Handphonenya.

"Perbuatan oknum polisi ini tentunya semakin mencoreng citra Polri yang beberapa waktu belakangan sudah mendapat sorotan publik," ujar Edwin, dalam siaran pers yang diterima Elaeis.co, Kamis (9/12).

Paetogi menyebutkan, LPSK melihat upaya segelintir polisi di Rokan Hulu itu seperti bentuk reviktimisasi kepada korban. Padahal, korban sudah merasakan penderitaan atas tindak pidana yang dialaminya. Perbuatan polisi ini dinilai tidak kalah menyakitkan dibandingkan perbuatan dari pelaku perkosaan. 

"Bayangkan, upaya korban mencari keadilan justru terbentur ancaman dipidanakan yang justru keluar dari mulut oknum penegak hukum," ketus Edwin.

Dia menilai, perbuatan beberapa anggota Polsek Tambusai Utara itu juga tidak sesuai dengan slogan Polri yakni melindungi, mengayomi dan melayani. Menurut Edwin, Polri seharusnya berpihak kepada korban tindak pidana dan harus memberikan contoh bentuk pelayanan, pengayoman, dan perlindungan. 

"Petugas Polri harus menghargai korban baik sebagai manusia maupun masyarakat yang memiliki hak untuk mendapatkan keadilan atas peristiwa pidana yang menimpanya," tegas Edwin.

LPSK berharap Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo untuk mengambil tindakan korektif agar tindakan serupa tidak terulang. Dia juga ingin adanya sanksi tegas kepada polisi yang melakukan upaya pengancaman kepada korban. 

"Polisi harus menegakkan hukum berdasarkan perintah peraturan perundang-undangan, bukan atas perintah pihak lain," jelasnya.

Terkait kasus ini sendiri LPSK siap memberikan perlindungan kepada korban. Tim LPSK sudah terhubung dengan pengacara korban dan akan segera melakukan tindakan yang diperlukan dan sesuai UU Perlindungan Saksi dan Korban.

"Tentunya kami akan terus mengupayakan hak ibu tersebut terpenuhi, termasuk soal keamanan dan rehabilitasinya," pungkas Edwin.

Untuk diketahui seorang ibu muda asal Rokan Hulu, Z (19) diduga diperkosa oleh pelaku DK. Bahkan, DK memberi tahu kepada teman-temannya yang lain, untuk ikut memperkosa korban.

Beberapa hari setelah korban diperkosa DK, tiga pelaku lain ikut menculik korban dan membawanya ke sebuah bangunan ormas. Di sana, korban diperkosa secara bergilir bahkan dicekoki narkoba juga dikencingi.

Tiga pelaku lainnya berinisial J, M dan A, mereka berulang kali memperkosa korban saat suami korban tidak di rumah.

Bahkan, korban diancam akan dibunuh jika membongkar kasus tersebut. Aksi dugaan pemerkosaan itu dilakukan para pelaku bergantian. 

Mirisnya, video beredar berisi diduga 2 orang polisi menyebutkan korban pemerkosaan Z (19) sebagai pekerja seks komersil. Diduga, korban diancam dan dipaksa menandatangani surat perdamaian dengan pelaku yang memperkosanya.

"Iya itu video direkam sama istri saat kedua anggota polisi itu datang ke rumah kami," ujar S, suami korban.

S menceritakan, peristiwa itu terjadi pada 21 November lalu, tak lama setelah mereka melaporkan 4 orang pelaku pemerkosa Z. Meski 4 orang dilaporkan, namun polisi baru menindak 1 orang saat itu.

Menurut S, kedua polisi itu yaitu Kanit Reskrim Polsek Tambusai Utara, Bripka JL dan 1 anggotanya.

"Waktu itu yang datang Kanit sama penyidiknya. Mereka datang ke rumah kami di Mahato sambil marah-marah dan mengancam," ucap S.

Sejumlah polisi datang ke rumah mereka lantaran S dan istrinya tidak mau berdamai dengan pelaku DK, yang memperkosa Z sekaligus membanting bayi mereka berusia 2 bulan.

S menyebutkan, para anggota Polsek Tambusai Utara itu meminta agar mereka mau berdamai dengan pelaku.

"Sebelumnya kami disuruh ke Polsek. Di Polsek, kami disuruh tanda tangan surat perdamaian dengan pelaku," jelas S.

Tentu saja tawaran itu ditolak oleh S, apalagi istrinya diperkosa berulang kali disertai ancaman. Mesko menolak, Kanit Reskrim memaksa keduanya untuk menandatangani selembar surat yang telah diketik polisi, yakni surat damai.

"Saya bilang tidak mau damai, tapi tetap diketiknya dan suruh tandatangan. Itu kejadian di Polsek. Lalu saya hubungi keluarga, saya disuruh pulang," jelasnya.

Kemudian S membawa istrinya pulang dengan alasan akan berunding terlebih dahulu dengan keluarganya. 

"Lalu kami pulang, dan disuruh datang lagi besoknya. Tapi kami nggak datang," ucap S.

Karena S dan Z tak datang ke Polsek Tambusai Utara, Kanit Reskrim dan anak buahnya mendatangi rumah mereka. Di rumah korban, Kanit dan anak buah kembali meminta agar keduanya mau berdamai sambil mengancam dengan bahasa "tengok lah nanti tiba waktunya, kalian yang akan jadi tersangka,".

"Malamnya dia (kanit dan penyidik) datang, langsung maki-maki kami. Datang turun berdua, tetapi di mobil ada yang lain juga," katanya.

Kepada Kanit, S menanyakan apa alasan istrinya disuruh berdamai. Pertanyaan itu justru membuat Kanit emosi dan kembali melontarkan kalimat kasar, salah satunya menyebut Z seperti lonte saat membuat laporan.

"Saya bilang 'kenapa pak kami yang suruh tandatangan berdamai, itukan nggak bisa dipaksakan'. Kanit tanya 'siapa yang bilang', saya jawab keluarga saya. Lalu dijawab 'Bilang sama dia, babi dia, pandai-pandaian dia'," kata S menirukan ucapan sang Kanit.

Agar memiliki bukti, S meminta istrinya untuk merekam percakapan dan ancaman yang dilontarkan dua polisi Polsek Tambusai Utara itu.

BACA BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Komentar Via Facebook :