https://www.elaeis.co

Berita / Feature /

Loe Terpesona, Gue Terperosok

Loe Terpesona, Gue Terperosok

Ketua Umum DPP Apkasindo, Gulat Medali Emas Manurung, saat menyusuri sungai menuju perkampungan di kawasan Kampar Kiri Hulu, Riau. foto: ist


Jakarta, elaeis.co - Begitu Presiden Jokowi membikin mandatori untuk membaur Fatty Acid Methyl Ester (FAME)-solar dengan perbandingan 30-70, dunia langsung terbelalak dan terpesona. Soalnya, di seluruh dunia, baru Indonesia yang berani membikin bauran dengan porsi sebesar itu.  

Gara-gara bauran itu, banyak dampak yang terjadi. Pertama, serapan Crude Palm Oil (CPO) untuk membikin biodiesel melejit dari 5,8 juta ton menjadi 7,2 juta ton. Mau tak mau stok CPO dunia jauh berkurang, harga melambung tinggi. Bahkan tertinggi sepanjang 20 tahun terakhir. 

Oleh tingginya harga CPO itu, Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) yang selama ini didaulat untuk mengumpulkan duit Pungutan Ekspor (PE) ikut terpesona lantaran PE yang didapat ikut melonjak naik. 

Itu terjadi lantaran aturan main PE sudah berubah menjadi sistem progresif --- naik mengikuti kenaikan harga komoditi. Petani kelapa sawit juga terpesona lantaran harga jual Tandan Buah Segar (TBS)nya ikut tergeret. 

Ketua Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (DPP-Apkasindo), Gulat Medali Emas Manurung merinci, sejak Januari 2020, persis setelah mandatori B30, harga TBS naik terus, di atas Rp1.900 perkilogram. Bahkan saat ini sudah berkisar Rp2.250-Rp2.555 perkilogram. 

Uniknya, meski harga CPO melambung tinggi, harga Biosolar (B30) yang dijual di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) di dalam negeri, justru masih bisa Rp5.150 perliter. 

Padahal kalau mengikuti harga pasar CPO dunia yang dua tahun belakangan lebih tinggi dari minyak fosil, mestinya harga B30 seliter sudah harus Rp10.600.  

"Pertanyaan yang muncul kemudian, kok bisa?" lelaki 48 tahun ini langsung melempar pertanyaan saat berbincang dengan elaeis.co, tadi siang. “Ada kami petani yang menyumbang di PE itu. 

"Kami bilang sumbangan lantaran PE ini bukan pajak, bukan Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional (APBN), beda dengan Bea Keluar (BK) CPO yang duitnya langsung disetor ke negara dalam bentuk pajak," ayah dua anak ini mengurai.  

Oleh pungutan itu, memang pendapatan petani kata Gulat, berkurang, tapi sebaliknya bertambah besar. Lho? 

"Gini, oleh PE itu memang harga TBS kami berkurang sekitar Rp363 perkilogram TBS. Kami menyebutnya give. Tapi oleh give ini, kami justru menerima (take atau receive) kenaikan harga TBS. Artinya, seperti yang saya bilang tadi, kalau sebelum B30 harga TBS hanya Rp800, tapi setelah B30 , harga TBS melonjak. Katakanlah sekarang Rp2.555. Kalau dikurangi Rp800 --- harga TBS sebelum B30 --- dan dipotong pungutan Rp363 tadi, kami masih balen Rp1.392," terangnya.
 
Lalu kemana duit pungutan itu mengalir? "Itulah sebagian dipakai untuk membikin B30 tadi tetap bisa dibeli rakyat dengan harga murah; Rp5.150 perliter. Semua rakyat Indonesia ini bisa membeli Biosolar itu," katanya.

Lalu duit PE itu juga kata Auditor Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) ini dipakai untuk riset, peningkatan SDM, Sarpras dan Beasiswa untuk anak-anak petani, buruh tani, hingga pemerhati sawit Indonesia. 

"BPDPKS lah yang mengatur itu semua, makanya kami berterimakasih kepada BPDPKS atas visi dan misinya," ujar kandidat doktor ilmu lingkungan Universitas Riau ini.

Kalau dihitung-hitung, sumbangan para petani ini ternyata segunung juga. Sebab kalau tahun lalu produksi CPO Indonesia mencapai 47 juta ton, maka produksi CPO petani mencapai 19,74 juta ton. 

Ini kalau dihitung berdasarkan luasan kebun. Sebab kata Direktorat Jenderal Perkebunan, Kementerian Pertanian, dari 16,38 juta hektar luas kebun sawit di Indonesia, 42% dari total itu, kebunnya petani. 

Lalu apa penghargaan yang didapat petani atas besarnya sumbangan tahunan itu? Di sinilah kemudian yang membikin Gulat ngenes

Bahwa dari 42% petani kelapa sawit tadi, hampir separoh kebunnya diklaim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sebagai kawasan hutan. 

Walau Undang-Undang Sapu Jagat bernama UU nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja Sudah ada, yang namanya klaim ini, masih teramat sulit dicabut, cekramannya sudah kayak pasak bumi. Gara-gara persoalan inilah Gulat kemudian mengistilahkan; orang terpesona dengan besarnya peran petani sawit dalam menjaga stabilitas harga CPO, devisa negara dan bahkan membuat dunia terkagum-kagum oleh kehadiran B30, tapi bejibun petani yang notabene ikut berperan aktif dalam sumbang menyumbang tadi, terperosok masih tetap terperosok dalam kubangan klaim kawasan hutan itu. 

"Sudahlah terperosok, sebahagian mereka berujung ke rumah sakit dan sebahagian lagi berurusan dengan aparat hukum. Padahal mereka tidak tahu menahu klaim kawasan hutan itu. Mereka hanya tahu bahwa dengan berkebun sawit, hidup mereka akan lebih sejahtera," suara Gulat terdengar bergetar. Hhmmm…



 

BACA BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Komentar Via Facebook :