https://www.elaeis.co

Berita / Pojok /

Refleksi Hari Lingkungan Hidup Sedunia 05 Juni 2021

Lingkungan Mati

Lingkungan Mati

Firdaus saat berada di pohon yang meranggas di kawasan Singkep Kabupaten Lingga, Kepulauan Riau. foto: dok. pribadi


Apa saja yang ada di sekeliling kita, itu lah lingkungan kita. Bahkan dalam diri kita pun ada lingkungan belah dalam. Sebab itu kita mengenal istilah lingkungan dalam (internal) dan lingkungan luar (eksternal).

Anasir Dalam dan Luar itu amat menentukan mati hidup kita. Ada orang, luarnya nampak hidup, tapi dalamnya dah Mati. 

Sebaliknya, Dalam nya nampak hidup, padahal luarnya dah mati. Pilahan ketiga, antara hidup dan mati alias Macam Nak Mati.

Lebih dua dekade lalu (1998-2021), Majalah Terkemuka Perancis (Hebdomadaire) "Le POINT", Edisi 18 Juli 1998 No. 1348 menurunkan Edisi Khusus bertajuk "Le CHECK-UP de la TERRE".

Klaus TöFFER, Direktur Program Lingkungan Hidup PBB ketika itu memperkirakan ada 10 Petaka Lingkungan Hidup yang akan melantak Planet Bumi (Les dix plaies de la Terre).

Sepuluh petaka itu: 1). Degradasi lahan, 2) perubahan iklim dan kelangkaan energi, 3) menyusutnya keanekaragaman hayati, 4) deforestasi, 5) kelangkaan air bersih, 6) pencemaran udara, 7) anarkis urbanisasi, 8) eksploitasi laut yang berlebih dan pencemaran litoral, 9) pencemaran udara, dan 10) penipisan dan bocornya lapisan Ozon dan mencuatnya fenomena pemanasan global (global warming).

Hari ini, kesepuluh petaka yang diprediksi oleh Klaus TöFFER itu betul-betul telah sedang dan akan terus berlangsung menuju titik sakratul mautnya secara sempurna.

Bahkan kian menjadi-jadi akibat keserakahan makhluk hedonis, terutama para Kapitalis-Neolib. Hal ini terutama disebabkan oleh mindset antroposentris yang melecehkan alam (kosmosentris) hanya sebagai instrumen pemenuhan kebutuhan material manusia serakah sehingga anasir humanisme dan etika lingkungan hidup tak lagi diambil hirau.

Planet Bumi dimana kita hidup dan beranak pinak hari ini semakin ringkih, meratap, dan merana memikul dan menanggung beban yang saat ini dihuni oleh 7,6 miliyar umat.

Paradigma pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yang digagas dalam Konferensi Tingkat Tinggi Bumi di Rio De Janeiro, Brasil sejak seperempat abad lalu (1992) sebagai sebuah agenda politik pembangunan untuk semua Negara di dunia ternyata pada tataran aktualisasi masih belum dipahami dengan baik.

Degradasi mutu lingkungan hidup akibat  pembangunan yang terus-menerus (continuous) yang kurang mengindahkan dimensi pembangunan berkelanjutan (sustainable) menjadi pemandangan yang kian menyesakkan.

Sebab itu kajian eksploratif-antisipatif pemanfaatan ruang layak huni di lingkungan ekstraterestrial (eksplorasi ruang angkasa) semakin mendapat perhatian sebagaimana didedahkan oleh Sandra Häuplik-Meusburger and Sheryl Bishop (2021) dalam buku terbarunya berjudul "Space Habitats and Habilitation".

Hakikat pembangunan berkelanjutan dalam bahasa awam yang lugas sesungguhnya adalah: “Ambillah rezeki yang diberikan Allah SWT untuk kebutuhan hidup mu hari ini tetapi tolong jangan habiskan semuanya untuk kelangsungan hidup anak cucu generasi masa depan”.

Namun kekeliruan cara pandang telah melahirkan perilaku eksploitatif terhadap alam yang melampui batas daya dukung. 

Oleh sebab itu edukasi yang bermutu kepada semua lapisan masyarakat lintas strata merupakan ikhtiar yang krusial agar pendidikan menghasilkan manusia berakhlak mulia yang menjadi rahmat bagi semesta alam.

Manusia dengan kemampuan berpikirnya terbukti mampu mengkreasi ilmu pengetahuan dan strategi penggunaannya untuk sintas dalam menjaga keseimbangan relasi dengan lingkungan hidup dan kehidupan sosialnya.

Provinsi Riau yang pembangunannya masih bertumpu pada kemewahan sumber daya alam mestilah memikirkan kelangsungan hidup generasi ke depan jika tak hendak melihat fenomena Penggurunan Malayland

Sebab, ketika itu menjadi kenyataan, sesungguhnya lah peneraju negeri ini abai dan cuai dengan pesan kearifan: “kalau hidup hendak selamat, peliharalah: laut beserta selat, tanah berhutan lebat karena di situ terkandung: rezeki dan rahmat, tamsil ibarat, aneka nikmat, beragam manfaat, dan petuah adat”.

“Tanda orang berakal budi, merusak alam ia tak sudi”, “Tanda ingat ke hari tua, laut dijaga bumi dipelihara”. "Tanda ingat ke hari kemudian, taat menjaga laut dan hutan”.

Lingkungan akan mati jika kita semua terus pekak hati dan tak ambil peduli. Jangan tidak-tidak…!


Prof. L.N. Firdaus

Pendidik di FKIP Universitas Riau. Alumnus Program Doktor dari Ecole Nationale Supérieure Agronomique de Montpellier, Perancis. 

Guru Besar bidang Ekofisiologi Tumbuhan. 

BACA BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Komentar Via Facebook :

Berita Terkait :