Berita / Pojok /
Legend of
Wahyudi El Panggabean. foto: dok. pribadi
Sejarah mengungkap: Nabi Nuh AS, seorang Pionir Jurnalisme, wartawan pertama di muka bumi ini. Kapal penyelamat--- buat sang Nabi dan pengikutnya --- dinobatkan sebagai media perdana.
Kinerja jurnalistiknya, melalui prosesi yang rumit, juga spektakuler. Usai menghadapi tsunami besar, sang Nabi mengutus seekor Burung Dara untuk mendapatkan informasi tentang ketinggian permukaan air.
Sang Dara, terbang dengan ranting pohon Zaitun (Olea europaea) melapor kepada Nabi Nuh. Dari informasi itulah diketahui bahwa air sudah surut.
Nabi Nuh kemudian menyiarkan informasi itu kepada ummatnya. Atas penyiaran informasi akurat itu, segenap pengikut Nabi Nuh menjadi lega dan damai.
Begitu pentingnya informasi bagi kehidupan. Prosesi tugas perburuan informasi itu, hari ini, dikenal sebagai tugas kewartawanan, sekaligus mentasbihkan Nabi Nuh sebagai Jurnalis pertama.
Tetapi, yang ingin saya jelaskan, justru Pohon Zaitun dalam kisah itu, hingga kini, masih abadi. Dari penyusuran sebuah website terpercaya, pohon legenda itu, tumbuh perkasa di sebuah kawasan di Libanon.
Pohon inilah yang dikenal sebagai "The Sisters Olive Tree of Noah". Bagian dari 16 Pohon Zaitun yang diperkirakan berumur 5.000 - 6.000 tahun. Diduga, ini pohon non-klonal tertua di dunia.
Nabi Nuh sendiri, menurut Tafsir Qur’an ‘Adzim” Ibnu Katsir adalah sosok manusia berumur panjang. Beliau meninggal di usia 950 tahun.
Dari rentang umurnya, beliau habiskan, antara lain era pra-dakwah 300 tahun. Aktivitas berdakwah 300 tahun di era pra bencana.
Menurut tafsir tersebut, beliau masih bersama pengikutnya di era pasca banjir bandang itu selama 350 tahun.
Ada pekerti yang agung yang dipetik dari legenda itu: peran dakwah (berbuat kebaikan) dan umur panjang.
Umur panjang, bagi Nabi Nuh maupun Pohon Zaitun yang tumbuh melewati usia 100 siklus generasi manusia.
Tuhan, tampaknya memberi tiket "hidup lama" bagi mahluk penebar kebaikan. "Sebaik-baik manusia adalah yang panjang umurnya, dan baik amalannya".
Seperti halnya usia sang Nabi, dengan aktivitas dakwahnya yang hebat selama 300 tahun.
Pohon Zaitun meraih predikat usia panjang, lewat kontribusinya yang luar biasa bagi kelangsungan hidup manusia.
Beberapa penelitian menyimpulkan, minyak Zaitun epektif untuk menyangga kesehatan manusia dari sekitar 20 ancaman penyakit, termasuk antisipasi proses penuaan manusia secara biologis.
Lantas, ahli fisiologi tumbuhan menyibak tabir rahasia penyebab sebatang pohon bertahan hidup, lebih lama.
Menurut sebuah penelitian yang dilakukan oleh sekelompok ilmuwan dari VIB and Ghent University, sel induk dalam akar tumbuhan memegang kunci penting akan kelangsungan hidup tumbuhan tersebut.
Selain memegang kunci penting, sel induk itu juga berperan untuk melahirkan copy-an DNA ketika tumbuhan mengalami kerusakan sel.
Dengan pembentukan copy-an DNA tersebut, maka tumbuhan akan dapat terus tumbuh dan berkembang menggunakan sel baru itu.
Itu artinya, faktor lingkungan sebagai faktor eksternal guna mendukung terpenuhinya kebutuhan prosesi regenerasi sel induk tersebut, juga memegang peran penting.
Relevan juga mengkonversi proses fisiologi tumbuhan ini pada siklus biologis manusia. Faktor psikologi yang sangat rentan dalam strategi bertahan hidup, plus faktor lingkungan sekitar manusia itu bermukim.
Sikap optimisme dan selalu berpandangan positif adalah magnet bagi cinta yang melahirkan kebahagiaan seseorang.
Sedangkan kebahagiaan oleh para ahli merupakan tiket terbesar manusia untuk bisa bertahan lama di muka bumi ini.
Manusia yang bersikap optimis dan selalu berbahagia lah yang berhak hidup lebih lama. Berumur panjang. Lagian, untuk apa berumur panjang jika tidak bahagia (?)
"Orang-orang yang memandang positif, proses penuaan, hidup 7 tahun lebih lama dibanding yang bersikap negatif," sebut D.R. Becca R. Levy lewat Penelitiannya di Yale University (2002).
Persepsi negatif terhadap penuaan, sepertinya, saatnya ditinggalkan. Noelle C.Nelson dalam The Power Of Appreciation merumuskan ungkapan sinisme itu:
"Lebih banyak orang yang menganggap: proses penuaan sebagai gerak maju menuju kematian..."
Ini anggapan yang salah. Tentu saja. Kenyataannya, sebuah penelitian yamg shahih di "Barat" membantah skeptis itu.
Nyatanya, 70 persen kematian manusia di muka bumi ini, justru pada usia 30-35 tahun, bukan pada usia lanjut.
Bahwa sang Ajali tidak mengenal: usia, waktu tempat dan situasi sebaiknya dijadikan parameter atas taqdir-Nya yang mutlak. Tidak bisa ditawar.
Bahwa kematian tidak selalu berkorelasi dengan proses penuaan, seyogianya membuat kita bertekad meninggalkan (hanya) warisan kebaikan di kehidupan fana ini.
Terobsesi atas "aliran" unik inilah yang sempat menyentakkan saya, beberapa hari silam. Hingga tak tega meniup lilin perayaan serba sederhana Ultah-ku di angka 55. Menyalakannya pun: tidak.
Bukan karena terkesan menghindari budaya Majusi. Atau terimbas ajaran Ustad yang secara gamblang mengecam budaya api di perayaan kelahiran.
Tetapi, sekadar titik awal meninggalkan ceremony tradition. Yang selama ini mengubur kreasi seseorang. Perubahan, syarat mutlak untuk bertahan. Inovasi itu, mestinya merujuk pada amal-kebaikan.
Simak saja ungkapan, ilmuwan Jerman, Gothe:
"Apa yang ingin kau kerjakan, sesuai keinginanmu, kerjakan saja. Keberanian, butuh kejeniusan. Jika sudah dimulai, mesin pikiranmu akan memanas..."
Usia di ambang senja, usia yang menuntut rekondisi kreasi. Fisik boleh melemah, tetapi pengalaman adalah modal terkuat bagi para senior.
Talenta yang sudah lama tertidur: Bangunkan! Segera bergegas menempel kebocoran spritual yang terus menggerogoti potensi diri.
Teori Entropi, Cabang Ilmu Termodinamika yang menyibak tabir ini. Ilmu yang ditemukan Fisikiawan Jerman, Rudolf Julius Emanuel Clausius (1865) menyajikan rumusan:
"Sebuah sistem yang lama terbiarkan akan mengalami kemerosotan". Teori ini tentu berlaku juga bagi manusia.
Lantas, apa tindakan selanjutnya?
Simak saja syair sang Legenda Ebiet G. Ade dalam lagunya, Bidak-Bidak Catur:
Jangan terlampau lama engkau
membuang waktu...
Pastikan dengan diam,
berangkatlah segera...
Kita hanya bidak-bidak cuma punya satu jalan:
Merangsek maju ke depan,
menggilas rintangan...
Drs. Wahyudi El Panggabean, M.H
Lahir di Batangtoru, 9 Mei 1964. Mantan Wartawan Majalah FORUM Keadilan dan Mantan Pemimpin Redaksi Harian Media Riau, Dirut Lembaga Pendidikan Wartawan, Pekanbaru Journaliat Center (PJC) dan Anggota Dewan Kehormatan Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI).


Komentar Via Facebook :