https://www.elaeis.co

Berita / Pojok /

Korporasi HTI vs Petani Sawit Mandiri

Korporasi HTI vs Petani Sawit Mandiri

Kebun kelapa sawit masyarakat di Desa Talang Tujuh Buah Tangga, Kabupaten Indragiri Hulu, Riau, ditebangi oleh perusahaan HTI lantaran dituduh masuk dalam konsesi nya. foto: ist


Oleh: Sudarsono Soedomo *)

Sudah terlalu lama pemerintah bersikap lunak terhadap korporasi besar pengelola Hutan Tanaman Industri (HTI), sementara petani kecil, seperti petani sawit mandiri, justru mendapat tekanan yang tidak  proporsional. 

Berdasarkan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 2025 dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 2 Tahun 2025, tarif Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) untuk jenis kayu HTI seperti Acacia dan Eucalyptus ditetapkan sebesar 6 persen dari harga patokan, yang nilainya Rp 140.000 per meter kubik. 

Dengan asumsi tiap pertumbuhan sebesar 20 meter kubik per hektar per tahun --- angka yang lazim di HTI pulp --- maka pendapatan negara dari HTI hanya sebesar Rp168.000 per hektar per tahun.

Bandingkan angka ini dengan tekanan yang dihadapi petani sawit mandiri. Banyak dari mereka dituduh membuka kebun di kawasan hutan, padahal penetapan batas kawasan hutan itu sendiri hingga kini masih problematik. 

Jika pemerintah menetapkan pungutan kepada petani sawit sebesar Rp500.000 per hektar per tahun, petani sawit masih sanggup membayarnya tanpa kehilangan kelangsungan usaha. 

Namun ironisnya, justru petani seperti mereka yang sering dihadapkan pada kriminalisasi, penggusuran, dan pengabaian hak-haknya, sementara korporasi HTI yang memberikan kontribusi sangat kecil kepada negara tetap dibiarkan menikmati fasilitas legal dan kemudahan birokrasi.

Kebijakan ini jelas tidak mencerminkan keadilan fiskal, sosial, maupun ekologis. Korporasi HTI mendapatkan lahan dalam skala besar, seringkali puluhan ribu hektar, dengan pungutan PSDH yang sangat ringan. 

Di sisi lain, petani sawit mandiri, yang hanya mengelola beberapa hektar untuk menyambung hidup keluarga, justru menjadi sasaran penegakan hukum yang keras. 

Padahal secara ekonomi, kontribusi petani sawit terhadap pendapatan rumah tangga pedesaan, perekonomian daerah, dan bahkan ekspor nasional sangat nyata. Mereka membuka lapangan kerja, menggerakkan sektor riil, dan menyumbang devisa negara.

Sudah saatnya negara berhenti memanjakan segelintir korporasi besar yang memberi sedikit, dan mulai memberi ruang keadilan bagi rakyat kecil yang justru menopang fondasi ekonomi nasional. 

Jika keadilan dalam pengelolaan sumber daya alam ingin ditegakkan, maka pungutan negara harus proporsional terhadap manfaat ekonomi yang dihasilkan. 

Jangan biarkan ketimpangan ini terus berlangsung. Wahai para pemimpin negeri, bangunlah dari tidur panjang kalian. 

Negeri ini tidak akan maju hanya dengan menyenangkan pemilik modal besar. Negeri ini butuh keberanian untuk berpihak kepada rakyat yang bekerja keras, bukan mereka yang sekadar mengandalkan relasi dan konsesi.


*)Guru Besar Kebijakan Kehutanan, IPB University

BACA BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Komentar Via Facebook :