https://www.elaeis.co

Berita / Kalimantan /

Koridor Satwa, Solusi Selamatkan Orangutan di Kebun Sawit

Koridor Satwa, Solusi Selamatkan Orangutan di Kebun Sawit

Orangutan, satwa endemik Kalimantan. foto: ist.


Jakarta, elaeis.co – Ekspansi kebun sawit di hutan tropis Kalimantan membuat orangutan semakin terdesak. Para peneliti mendorong solusi damai dengan membangun koridor satwa liar di tengah perkebunan sawit.

Koridor satwa liar adalah jalur hijau yang menghubungkan kawasan hutan dengan kebun. Satu pohon di tengah kebun bisa jadi tempat istirahat penting bagi jantan yang menjelajah. Kalau betina tetap ada di wilayah itu, besar kemungkinan mereka akan berkembang biak.

Marc Ancrenaz, peneliti senior dari Sabah Wildlife Department dan Borneo Futures, mengungkapkan bahwa orangutan masih bisa hidup di lanskap sawit selama manusia memberi ruang bernapas bagi mereka. “Orangutan tak bisa hidup hanya dengan pohon sawit. Mereka butuh kanopi pohon asli, jalur berpindah yang aman, dan jembatan alami karena mereka tidak bisa berenang,” jelasnya dalam keterangannya, kemarin.

Dia menyebutkan bahwa Malaysia telah menjadi contoh yang bisa ditiru, dengan lebih dari 5% dari 8 juta hektare kebun sawitnya dialokasikan untuk konservasi. Area ini tidak hanya ditanami pohon asli, tetapi juga menjadi lorong kehidupan bagi orangutan, gajah, hingga macan tutul. Salah satunya adalah Koridor Keruak, yang menjadi penghubung antara dua kawasan hutan dan telah terbukti mendukung keanekaragaman hayati.

“Di Kalimantan sendiri, lebih dari 300.000 hektare kebun sawit akan memasuki masa replanting dalam beberapa tahun ke depan. Ini adalah momen emas untuk membangun lanskap yang lebih tangguh dan ramah satwa,” tegasnya.

Dalam siklus produksi sawit yang berusia 25 tahun, fase tanam ulang (replanting) menjadi kesempatan untuk merancang ulang kebun. Saat itulah koridor satwa bisa ditanam, area riparian direstorasi, dan tanaman diversifikasi diperkenalkan. “Dengan pendekatan ini, kebun tak hanya produktif tapi juga resilien terhadap perubahan iklim dan tekanan ekologis,” tambahnya.

Ia menyarankan penggunaan metode pemantauan sederhana seperti camera trap, drone thermal, dan citizen science yang melibatkan warga dan pekerja kebun untuk memetakan pergerakan satwa. Tak perlu peralatan canggih, tapi perlu kolaborasi.

Dirinya mengakui, banyak pekebun masih menganggap orangutan sebagai hama. Namun dengan edukasi yang tepat baik kepada pekerja kebun, warga lokal, hingga anak-anak, satwa bisa hidup berdampingan dengan manusia. “Jika satwa merasa aman, mereka tak akan agresif. Mereka hanya ingin bertahan hidup, seperti kita,“ tegasnya. 

“Orangutan itu satwa tangguh. Mereka bukan ancaman. Justru jika perusahaan mau peduli dan berkontribusi, persepsi masyarakat bisa berubah. Orangutan harus dilihat sebagai aset ekosistem, bukan musuh,” tambahnya.

Ia juga mengungkapkan bahwa gangguan orangutan terhadap kebun sawit sebenarnya sangat minim. Kerusakan yang sering dikeluhkan justru tidak memengaruhi volume produksi. “Faktanya, kebun muda yang dianggap ‘rusak’ oleh kehadiran orangutan tetap memiliki hasil panen yang sama dengan kebun tanpa satwa,” tegasnya.


 

BACA BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Komentar Via Facebook :