Berita / Nasional /
Konflik Agraria Tak Pernah Usai, Regulasi Amburadul Dituding Biang Masalah
Yagus Suyadi, Kepala Divisi Perolehan Tanah Bank Tanah.
Bogor, elaeis.co – Konflik agraria yang terus meledak di berbagai daerah, mulai dari kawasan perkebunan sawit hingga perdesaan, tidak pernah benar-benar selesai.
Menurut Yagus Suyadi, Kepala Divisi Perolehan Tanah Bank Tanah sekaligus mantan Kepala Biro Hukum ATR/BPN, akar masalahnya sederhana tapi fatal yakni aturan tumpang-tindih dan implementasi yang tidak harmonis.
“Di induk peraturannya sudah ada konsep penyesuaian. Tapi di lapangan, harmonisasinya belum rapi. Di situlah konflik mulai muncul,” kata Yagus, Kamis (27/11).
Yagus menegaskan, konflik agraria bukan persoalan era sekarang saja. Banyak benturan agraria hari ini adalah efek berantai dari kebijakan masa lalu, bahkan sejak zaman pemerintahan Hindia Belanda. Struktur penguasaan tanah saat itu dibuat timpang, dan pola itu terbawa hingga puluhan tahun setelah kemerdekaan.
Selain warisan sejarah, Yagus mengkritik ketidakkonsistenan pemegang hak, terutama perkebunan dengan skema HGU. Banyak yang mendapat lahan sangat luas, tapi tidak dikelola sesuai komitmen. Yang terjadi, masyarakat sekitar malah tak dilibatkan sebagai tenaga kerja, sementara karyawan didatangkan dari luar.
“Banyak perusahaan lalai menjalankan tanggung jawab sosial. Masyarakat sekitar justru tidak punya lahan garapan, tapi tidak ikut diberdayakan,” tegasnya.
Situasi semacam ini memicu ketegangan berulang, dan pada akhirnya rakyat yang dianggap bersalah ketika ada sengketa.
Ketika ditanya mengapa masyarakat selalu jadi pihak kalah, Yagus menekankan bahwa konflik tanah tidak bisa dipandang sektoral. “Ini tanggung jawab lintas sektoral. Tidak bisa hanya bilang ‘itu kewenangan LHK’. Semua harus duduk bersama,” jelasnya.
Ia memberi contoh kasus transmigrasi: warga sudah memegang hak milik berdasarkan HPL lama, tetapi tiba-tiba masuk kawasan hutan berdasarkan penetapan baru. “Tidak boleh ada penetapan yang mengabaikan bukti lama. Undang-undang tidak berlaku surut,” tegas Yagus.
Sebagai penutup, ia menekankan pentingnya usulan dari bawah. Pemerintah daerah dan masyarakat harus dilibatkan dalam penataan, agar keputusan Menteri benar-benar merekam kebutuhan rakyat.
“Selama aturan masih tumpang-tindih, rakyat akan terus jadi korban,” pungkasnya.







Komentar Via Facebook :