https://www.elaeis.co

Berita / Nasional /

Konflik Agraria Makin Panas, Pansus Reforma Agraria Disebut Jadi Harapan Terakhir

Konflik Agraria Makin Panas, Pansus Reforma Agraria Disebut Jadi Harapan Terakhir


Bogor, elaeis.co – Konflik agraria terus memanas, rakyat makin terjepit. Di tengah aturan yang saling tabrak, Pansus Reforma Agraria disebut jadi harapan terakhir untuk merapikan carut-marut penguasaan tanah. 

Eskalasi konflik agraria di Indonesia kembali naik. Data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat 212 konflik agraria pada 2024, melibatkan lebih dari 300 ribu hektare lahan dan setidaknya 150 ribu kepala keluarga. 

Sektor perkebunan khususnya kelapa sawit menjadi penyumbang terbesar, mencapai 41% dari total kasus. Di tengah situasi yang makin kompleks, pembentukan Panitia Khusus (Pansus) Reforma Agraria di DPR RI disebut sebagai “harapan terakhir” untuk merapikan tata kelola pertanahan nasional yang sudah terlalu lama karut-marut.

Kepala Divisi Perolehan Tanah Bank Tanah, Yagus Suyadi, menjelaskan bahwa akar persoalan bukan sekadar sengketa perebutan lahan, tetapi tumpang-tindih regulasi dan ketidakselarasan pengelolaan hak atas tanah. 

“Konflik yang muncul hari ini banyak yang berasal dari policy lag masa lalu, termasuk warisan era kolonial. Struktur penguasaan tanah kita masih timpang, dan ini tidak pernah diselesaikan secara sistematis,” kata Yagus, Kamis (27/11). 

Menurut Yagus, regulasi teknis seperti UU 5/1960 tentang Pokok-Pokok Agraria, PP 24/1997 tentang Pendaftaran Tanah, serta PP 23/2021 tentang Penataan Ruang Kawasan Hutan sebenarnya sudah memberi kerangka kerja yang memadai. Namun implementasinya sering jalan sendiri-sendiri.

“Di atas kertas sudah ada harmonisasi, tapi di lapangan prosedur HGU, HGB, HPL, sampai penetapan kawasan hutan sering tidak sinkron. Banyak perusahaan pemegang HGU yang tidak memenuhi kewajiban land management mereka, sementara masyarakat lokal tidak diberi akses,” tegasnya.

Ia menyebut temuan Bank Tanah: sekitar 1,2 juta hektare HGU tercatat tidak optimal dikelola, mulai dari lahan terlantar, tidak ditanami, hingga tidak ada community engagement. 

“Ketika masyarakat tak punya lahan garapan, sementara HGU tidak produktif, konflik itu hanya soal waktu.”

Yagus menekankan bahwa persoalan agraria adalah isu lintas sektor. “Tidak bisa hanya menyerahkan ke KLHK atau ATR/BPN. Penyelesaiannya harus multi-authority,” ujarnya.

Ia mencontohkan kasus transmigrasi. Jika suatu wilayah sudah menjadi HPL dan sertifikat hak milik sudah terbit melalui program resmi pemerintah, maka tidak bisa tiba-tiba dinyatakan sebagai kawasan hutan berdasarkan penetapan administratif baru.

“Dalam hukum administrasi negara, asas non-retroaktif itu mutlak. Harus dicek: kapan HPL terbit, kapan sertifikat keluar, kapan kawasan ditetapkan. Tidak boleh penetapan yang lebih baru menganulir hak yang sudah sah.”

Menurut Yagus, Pansus Reforma Agraria harus memastikan penataan objek reforma agraria, termasuk tanah terlantar, bekas kawasan HGU, HGB yang berakhir, dan redistribusi tanah, berjalan sesuai kerangka hukum.

“Pansus harus jadi ruang penataan ulang yang adil, transparan, dan berbasis data. Jangan bergeser menjadi ajang saling menyalahkan.”

Ia menegaskan mekanisme bottom-up wajib diperkuat. “Kalau masyarakat tidak dilibatkan, konflik agraria akan terus berulang.”

Yagus pun menutup dengan pernyataan lugas: “Kalau tidak ada harmonisasi aturan, penataan penguasaan tanah, dan partisipasi rakyat, konflik agraria akan makin panas. Pansus ini memang harapan terakhir.”

BACA BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Komentar Via Facebook :