https://www.elaeis.co

Berita / Kalimantan /

Komnas HAM Terima Banyak Pengaduan Terkait Dampak Perkebunan Sawit di Kalbar

Komnas HAM Terima Banyak Pengaduan Terkait Dampak Perkebunan Sawit di Kalbar

Pekerja beraktivitas di perkebunan sawit. foto: Oppuk


Pontianak, elaeis.co – Industri sawit di Kalimantan Barat berkembang sangat pesat. Namun, di balik laju pertumbuhan tersebut, ada satu hal yang masih terabaikan. Yaitu pemenuhan hak-hak buruh.

Hal ini terungkap dalam diskusi bertajuk "Pemenuhan Hak-hak Buruh Wujudkan Perkebunan Sawit Berkelanjutan dan Capaian SDGs" yang berlangsung di Pontianak, Selasa (22/4).

Dalam acara tersebut, Kepala Sekretariat Komnas HAM Kalimantan Barat, Nelly Yusnita, menyoroti sejumlah pengaduan yang masih terus mengalir dari buruh dan masyarakat terdampak aktivitas perkebunan sawit. 

Keluhan yang muncul sangat beragam, mulai dari sengketa lahan agraria hingga pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak. Tidak hanya itu, kondisi lingkungan kerja yang buruk, tidak adanya jaminan kesehatan, dan masalah transparansi penghitungan upah buruh, turut menjadi isu utama.

Menurut Nelly, sejumlah pengaduan yang masuk ke Komnas HAM menunjukkan adanya ketimpangan yang cukup tajam antara pengusaha dan buruh.

"Buruh sering kali tidak tahu bagaimana cara perhitungan upah mereka, yang memicu ketidakadilan ekonomi. Bahkan, hak untuk berserikat dan menyampaikan pendapat pun kerap diabaikan," ujarnya.

Tak hanya itu, masalah yang lebih serius seperti eksploitasi buruh anak dan upah yang tidak layak juga mencuat dalam pengamatan lapangan.

Dia mengingatkan bahwa tanggung jawab untuk melindungi hak-hak buruh bukan hanya terletak pada perusahaan, tetapi juga negara. "Keberlanjutan yang sesungguhnya bukan hanya soal ekonomi dan lingkungan, tetapi juga soal martabat manusia yang harus dihargai," tuturnya.

Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Tanjungpura, Irjat Sudrajat, juga memberikan pandangannya. Ia menegaskan bahwa ketimpangan antara pemberi kerja dan pekerja masih sangat besar, yang berpotensi memicu eksploitasi.

"Pemerintah dan pengusaha harus segera bertindak, karena ketidakadilan ini merusak citra sektor sawit yang seharusnya bisa lebih berkelanjutan," desaknya.

Namun, ada harapan untuk memperbaiki situasi tersebut. Bayu Sefdiantoro dari Teraju Indonesia menekankan pentingnya membentuk Lembaga Kerja Sama Bipartit (LKS Bipartit) di tingkat perusahaan untuk menyelesaikan sengketa melalui musyawarah.

"Jika musyawarah tidak berhasil, maka langkah selanjutnya adalah mediasi melalui pihak ketiga," jelasnya.

Di sisi lain, perwakilan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Kalbar, Budiono, mengakui adanya tantangan dalam pelaksanaan regulasi di lapangan. Namun, ia menegaskan bahwa para pengusaha sawit tetap berkomitmen untuk menjalankan aturan yang ada.

"Kami tidak ingin ada konflik berkepanjangan karena hal tersebut hanya akan mengganggu keberlangsungan bisnis," ujarnya.

 

BACA BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Komentar Via Facebook :