Berita / Nasional /
KLHK Klaim Pengendalian Deforestasi dan Karhutla Berjalan Sukses, ini Datanya
Lahan bekas terbakar di Kalimantan. foto: dok. KLHK
Jakarta, elaeis.co - Kondisi tutupan lahan dan hutan Indonesia terus berubah dari waktu ke waktu diantaranya karena konversi untuk pembangunan sektor non kehutanan, perambahan, kebakaran hutan, maupun kegiatan rehabilitasi.
Untuk mengetahui keberadaan dan luas tutupan lahan baik berhutan maupun tidak berhutan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melakukan pemantauan hutan dan deforestasi setiap tahun. Kegiatan ini dilakukan pada seluruh daratan Indonesia seluas 187 juta hektar, baik di dalam kawasan hutan maupun di luar kawasan hutan, dan berdasarkan pada peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) dalam program Kebijakan Satu Peta (KSP).
Pemantauan ini dilakukan menggunakan data utama citra satelit landsat yang disediakan Organisasi Riset Penerbangan dan Antariksa (OR-PA) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dan diidentifikasi secara visual oleh tenaga teknis penafsir KLHK yang tersebar di seluruh Indonesia.
"Hasil pemantauan hutan Indonesia Tahun 2022 menunjukkan bahwa luas lahan berhutan seluruh daratan Indonesia adalah 96,0 juta hektar atau 51,2 % dari total daratan. Di mana 92 % dari total luas berhutan atau 88,3 juta hektar berada di dalam kawasan hutan," ungkap Plt. Kepala Biro Hubungan Masyarakat KLHK, Nunu Anugrah, dalam siaran pers kemarin.
Deforestasi (netto) Indonesia tahun 2021-2022 mencapai 104 ribu hektar. Angka ini berasal dari angka deforestasi bruto sebesar 119,4 ribu hektar dikurangi reforestasi sebesar 15,4 ribu hektar. "Luas deforestasi tertinggi terjadi di kelas hutan sekunder, yaitu 105,2 ribu hektar. Di mana 71,3% atau 75 ribu hektar berada di dalam kawasan hutan dan sisanya seluas 30,2 ribu hektar atau 28,7% berada di luar kawasan hutan," paparnya.
Sebagai pembanding, tahun 2020-2021 deforestasi Indonesia sebesar 113,5 ribu hektar yang berasal dari angka deforestasi bruto sebesar 139,1 ribu hektar dikurangi reforestasi sebesar 25,6 ribu hektar. "Artinya deforestasi Indonesia tahun 2021-2022 mengalami penurunan 8,4 %. Indonesia telah berhasil menurunkan angka deforestasi sampai titik terendah pada tahun 2021-2022," sebutnya.
Dia menambahkan, Indonesia mulai menghitung tingkat deforestasi sejak tahun 1990. Deforestasi tertinggi terjadi pada periode tahun 1996 sampai 2000 (mencapai 3,5 juta ha per tahun) dan periode 2002 sampai 2014 (0,75 juta ha per tahun).
"Menurut data World Resources Institute Global, deforestasi terendah dicapai di era Jokowi. Juga menurut data World Resources Institute Global, RI sebagai negara nomor satu tingkat penurunan deforestasinya di dunia sebesar 65%, yang dicapai di era pemerintahan Jokowi," ungkapnya.
Terkait kebakaran hutan dan lahan (karhutla), menurutnya, data hotspot menjadi indikasi keberhasilan upaya pengendalian karhutla di Indonesia. Pada tahun 2015, data hotspot dari satelit Terra/Aqua (MODIS NASA) mendeteksi 70.971 titik, 2016 sebanyak 3.844 titik, 2017 sebanyak 2.440 titik, 2018 sebanyak 9.245 titik, 2019 sebanyak 29.341 titik, 2020 sebanyak 2.568 titik, 2021 sebanyak 1.451 titik, 2022 sebanyak 1.297 titik, dan 2023 sebanyak 10.673 titik.
Tren penurunan titik panas ekuivalen dengan luas area yang terbakar. Luas karhutla tahun 2015 s/d 2023 berdasarkan citra satelite landsat 8 OLI/TIRS yang di overlay dengan data sebaran hotspot, serta laporan hasil groundchek hotspot dan laporan pemadaman yang dilaksanakan Manggala Agni sebagai berikut: 2015: 2.611.411 ha; 2016: 438.368 ha; 2017: 165.484 ha; 2018: 529.267 ha; 2019: 1.649.258 ha; 2020: 296.942 ha; 2021: 358.864 ha; 2022: 204.896 ha; 2023: 994.313 ha.
"Kebakaran hutan dan lahan tahun tahun 2023 berhasil ditekan lebih kecil 30,80% dibandingkan tahun 2019 dengan pengaruh El-Nino yang hampir sama, bahkan kondisi 2023 lebih kering. Kondisi ini telah diantisipasi melalui berbagai upaya pencegahan karhutla sejak awal tahun," jelasnya.
Dia menegaskan, data tersebut menjadi indikasi adanya keberhasilan upaya pencegahan karhutla yang efektif. Kenaikan hotspot yang terjadi pada tahun 2019 dan tahun 2023 disebabkan oleh adanya El Nino. "Namun kita berhasil memitigasi fenomena El Nino sehingga jumlah hotspot dan luas tidak setinggi tahun-tahun sebelumnya. Jika dibandingkan karhutla tahun 2019 dengan kondisi akibat dampak El-Nino yang serupa dengan tahun 2023, luas karhutla tahun 2023 masih jauh menurun," tukasnya.
Indonesia juga berhasil menekan kejadian karhutla khususnya di lahan gambut sehingga terjadi penurunan luas karhutla dari gambut. Pada tahun 2015 terdapat luas karhutla di lahan gambut seluas 891.275 hektar atau 34% dari total luas karhutla, tahun 2019 turun menjadi 483.111 hektar atau 30% dari total luas karhutla, kemudian pada tahun 2023 semakin turun menjadi 182.789 hektar atau 16,38% dari total luas karhutla.
"Selain itu, pengaturan tinggi muka air tanah 0,4 meter di lahan gambut ternyata tidak menyebabkan penurunan produktivitas perkebunan sawit. Penelitian menunjukkan terjadi peningkatan produktivitas sawit antara 13-30%," bebernya.
Data pemerintah mencatat bahwa luas karhutla dari tahun 2015 menunjukkan tren menurun sampai dengan Oktober 2023. Sejak kejadian karhutla tahun 2015 (baseline) dengan adanya perubahan paradigma pengendalian karhutla sampai dengan sekarang luas karhutla di Indonesia menurun signifikan 94% - 37%.
Sebagai konsekuensi maka emisi Gas Rumah Kaca yang dihasilkan oleh Indonesia, tidak lagi sebesar ditahun-tahun sebelumnya seperti pada kondisi 2015 dan 2019. "Sehingga Indonesia tidak lagi menjadi negara pengemisi 5 terbesar secara global, bahkan pada tahun 2021 tercatat pengemisi pada ranking ke-9 dengan angka penurunan emisi 890 juta ton CO2eq," tegasnya.
"Menurut data Copernicus Atmosphere Monitoring Service (CAMS) dari Uni Eropa, Indonesia tidak termasuk ke dalam kelompok negara-negara penyumbang emisi terbesar dari karhutla. Negara-negara maju, seperti AS dan Kanada, termasuk di dalam kelompok tersebut," sambungnya.
Dia menekankan bahwa capaian tersebut tidak akan membuat pemerintah berhenti, melainkan akan tetap konsisten menjalankan berbagai upaya untuk mencegah karhutla, mulai dari monitoring, penetapan kebijakan, pencegahan, hingga penegakan hukum.
"Pada tahun 2024, KLHK sudah merencanakan upaya mitigasi kejadian karhutla dengan meningkatkan upaya-upaya pengendalian dengan melaksanakan patroli terpadu, TMC, monitoring hotspot, dan pemberdayaan masyarakat yang berada di wilayah rawan karhutla," pungkasnya.







Komentar Via Facebook :