https://www.elaeis.co

Berita / Nusantara /

Kiat Sahat Bikin Harga TBS Moncer

Kiat Sahat Bikin Harga TBS Moncer

Plt Ketua Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI), Sahat Sinaga


Jakarta, Elaeis.co - Petani sawit swadaya diminta untuk terus meningkatkan kapasitas diri dan manajemen perkebunan mereka, termasuk dengan melakukan rejuvenation atau peremajaan kebun sawit. 

Apalagi hal ini erat kaitannya dengan upaya mengundang dana atau investasi internasional agar masuk membantu mengoptimalkan 6,72 juta hektar (ha) lahan milik pekebun sawit swadaya.

"Nah, untuk mencapai hal itu perlu diterapkan teknologi upcycling circular economy, sehingga  para petani sawit  memperoleh nilai tambah sebesar 56 sampai 58% di atas harga TBS," kata Pelaksana Tugas (Plt) Ketua Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI), Sahat Sinaga kepada Elaeis.co, Rabu (4/8).

Teknologi upcycling circular economy yang dimaksud Sahat adalah menggunakan teknologi daur ulang atas setiap biomassa yang dihasilkan dari kebun sawit milik petani. Dengan demikian petani sawit bisa mendapatkan manfaat tambahan dari kebun sawitnya sendiri.

Artinya, kata Sahat, bila saat ini harga TBS relatif agak mahal, yakni Rp 2.100/kg, maka dengan menjalankan konsep di atas petani akan memperoleh nilai jual TBS yang lebih mahal lagi, yakni menjadi  sekitar Rp 3.297/kg.

"Ini yang harusnya dipikirkan oleh Indonesia. Tapi sayangnya tak ada yang perhatikan, cuma kami yang perhatikan ini," kata Sahat.

DMSI, kata Sahat, melihat kementerian yang terkait tidak memiliki visi mengenai hal ini. Itulah sebabnya, kata Sahat, DMSI mencoba mengundang investor asing untuk membantu petani Indonesia melalui presentase di acara Dubai Expo yang akan dilakukan dalam waktu dekat 

"Dan perkiraan saya, dalam tempo delapan tahun, cita-cita ini, kalau ada bantuan luar negeri berupa loan dan grant (pinjaman dan hibah -red), akan bisa terwujud. Tentu dengan model business to business. Begitu konsep yang akan diajukan oleh DMSI. Kurangi kemiskinan, kurangi emisi gas rumah kaca," kata Sahat.

Namun apapun ide yang disampaikan, Sahat melihat hal itu tidak akan ada artinya bila tidak terjadi perubahan manajerial dalam pengelolaan perkebunan sawit rakyat. 

Ia sudah pernah mengingatkan hal ini dalam seminar internasional Hannover Messe 2020 yang bertajuk "Corporatizing Oil Palm Smallholders'Business to Alleviate Poverty".

"Perkebunan sawit rakyat yang dikelola sendiri-sendiri itu sampai kiamat ya begitu-begitu saja. Dan ini sudah terbukti kan? Lihat saja, sejak kebun rakyat dibuka mulai  tahun 1978 sampai dengan sekarang petani sawit tetap saja terseok-seok susah cari dana, harga ditelikung terus, subur  para pedagang antar (tengkulak -red)," Sahat menyindir.

Itulah kata Sehat penyebab kebun sawit di benua Afrika tidak berkembang. Ia yakin kalau petani sawit skala kecil akan sulit mendapatkan akses perbankan dan susah mengakses atau saat mengurus perizinan dan sertifikat ISPO.

Karena itu ia tetap akan gigih mengundang dana internasional agar para petani sawit swadaya bisa dikorporotasikan atau memiliki manajemen perkebunan layaknya perudahaan sawit.

"Dan DMSI sudah pernah mengajukan atua mempresentasikan ini di depan Komisi VI DPR di tahun 2019. Tapi anehnya, republik kita ini bergeming, diam saja atas konsep DMSI," ujar Sahat.

Di saat yang sama para petani sawit pun masih skeptis pada konsep ini. Karena itu, Masyarakat Biohidrokarbon Indonesia (MBI), DMSI, dan BPDPKS  sedang berusaha membuat model korporatisasi ini di Kabupaten Pelalawan, Riau, dan Kabupaten Musi Banyuasin (Muba) sebagai percontohan.

"Moga-moga tahun 2022 bisa mulai berjalan. Dengan demikian ada proyek percontohan, kira-kira indentik dengan FELDA Malaysia yang mengayomi semua kebun rakyat," tegas Sahat Sinaga.

Sekadar informasi, FELDA adalah singkatan dari The Federal Land Development Authority, atau Otoritas Lahan untuk Pembangunan Negara. FELDA memusatkan perhatian pada pembukaan perkebunan-perkebunan skala kecil yang dapat menghasilkan tanaman perkebunan dan cepat dipanen.

BACA BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Komentar Via Facebook :