Berita / Nasional /
Kewajiban Plasma Bertambah Jadi 30%, SPKS: Menguntungkan tapi Membingungkan
Dewan Nasional SPKS, Mansuetus Darto. foto: ist.
Jakarta, elaeis.co - Dewan Nasional Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), Mansuetus Darto, ikut mengomentari pernyataan Menteri ATR/Kepala BPN yang mau menaikkan kewajiban pembangunan kebun plasma dari 20% menjadi 30% bagi perusahaan yang mengajukan perpanjangan hak guna usaha (HGU) tahap ketiga.
Menurutnya, kebijakan itu cukup menguntungkan masyarakat yang ada di sekitar konsesi perusahaan. Tapi implementasinya diprediksi akan membingungkan.
Dia menuturkan, kewajiban plasma atau fasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar (FPKMS) diterapkan pemerintah bagi perusahaan dengan tujuan untuk pengembangan sawit rakyat. Kebijakan ini juga diharapkan bisa mengatasi ketimpangan kepemilikan lahan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitar perkebunan.
Pengaturan FPKMS wajib bagi Perusahaan Perkebunan yang dimulai sejak 2007 melalui Permentan 26/2007, lalu direvisi dengan Permentan 98/2013 yang merubah ketentuan mengenai letak kebun 20% untuk FPKMS.
Pengaturan FPKMS diperkuat kembali melalui UU 39/2014, Perusahaan Perkebunan yang memiliki IUP dan IUP-B wajib melaksanakan FPKMS dengan luas lahan yang dibangun paling rendah seluas 20% dari total luas areal kebun yang diusahakan.
"Perubahan norma hukum ini menimbulkan ketidakpastian hukum atau bersifat multitafsir. Pendapat Mahkamah Konstitusi dalam putusan Mahkamah Konstitusi perkara pengujian UU 39/2014 pada pokoknya menyatakan bahwa perusahaan perkebunan harus memiliki HGU dan izin usaha perkebunan (IUP) untuk memulai operasi dan dibebankan kewajiban FPKMS. Dari putusan MK inilah maka perdebatan tentang letak kebun 20% seharusnya menjadi terang," paparnya kepada elaeis.co, Senin (3/1).
Sementara itu, di bidang pertanahan, FPKMS juga diatur melalui Permen ATR/BPN 7/2017 yang menyebutkan pemegang HGU wajib melaksanakan FPKMS paling sedikit 20% dari luas tanah yang dimohon HGU dalam bentuk kemitraan (plasma). Ketentuan FPKMS dalam UU 39/2014 direvisi kembali dalam UU 6/2023 tentang Cipta Kerja, dari semula paling rendah 20% dari total luas areal kebun yang diusahakan oleh perusahaan perkebunan berubah menjadi seluas 20% dari luas lahan perusahaan perkebunan yang mendapatkan perizinan berusaha untuk budi daya yang seluruh atau sebagian lahannya berasal dari area penggunaan lain yang berada di luar hak guna usaha dan/atau areal yang berasal dari pelepasan kawasan hutan.
Perubahan ini secara teknis diatur dalam PP 26/2021 dan Permentan 18/2021 yang mengatur pola dan bentuk, tahapan fasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar serta alternatif kemitraan produktif lain jika lahan untuk FPKMS tidak tersedia. Sedangkan di bidang pertanahan, perubahan aturan mengenai pembangunan lahan 20% ini terdapat dalam Permen ATR/BPN 18/2021. Regulasi ini mengatur bahwa kewajiban FPKMS seluas 20% dari luas tanah yang dimohon HGU maupun pada saat perpanjangan atau pembaharuan hak. Terhadap tanah yang dibangun untuk FPKMS tersebut diberikan sertipikasi hak atas tanah.
Regulasi ini tidak mengatur alternatif lain selain kewajiban bagi perusahaan untuk membangun kebun. Berbeda dengan regulasi di bidang perkebunan yang membuka alternatif kemitraan usaha produktif untuk menggantikan pelaksanaan FPKMS jika kondisi lahan tidak tersedia.
Lalu dalam kebijakan Percepatan Pelaksanaan Reforma Agraria melalui Perpres 62/2023 menempatkan kebijakan pembangunan 20% untuk masyarakat sebagai bagian dari penyediaan tanah objek reforma agraria (TORA). Perusahaan perkebunan pemegang keputusan persetujuan pelepasan kawasan hutan wajib mengalokasikan 20% dari total luas persetujuan pelepasan kawasan hutan, sedangkan TORA dari non kawasan hutan berupa menyediakan paling sedikit 20% dari luas tanah negara selain hasil pelepasan kawasan hutan yang diberikan kepada pemegang hak guna usaha dalam proses pemberian atau perpanjangan atau pembaharuan haknya.
Artinya, penyediaan lahan untuk 20% wajib dilakukan dan tidak ada alternatif lain atau tidak ada alasan tidak tersedianya lahan.
Dari sisi kehutanan, fasilitasi 20% untuk masyarakat ditemukan dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.96/MENLHK/SETJEN/KUM.1/11/2018, yang sebenarnya sudah dimulai sejak Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.17/Menhut-II/2011. Perubahan norma hukum FPKMS dan pengaturan yang berbeda di bidang perkebunan dan pertanahan maupun di bidang kehutanan menimbulkan permasalahan baru tentang kepastian hukum dan keadilan dalam penerapan FPKMS.
Akibatnya, tuntutan masyarakat terhadap realisasi pembangunan 20% tidak mencapai solusi yang jelas, di tengah konflik yang terus merebak di berbagai wilayah. Termasuk konflik akibat penerapan kemitraan yang tidak adil dalam pelaksanaan FPKMS atau hubungan kemitraan lainnya.
"Yang menjadi pertanyaan, jika 20% sudah direalisasikan perusahaan perkebunan dan memperpanjang HGU, maka 10% wajib di tambah lagi. Akan diambil dari mana 10% lagi? Apakah di luar tanah milik para petani dari 20% itu, atau dari HGU yang ada atau kawasan hutan?" tanyanya.
"Lalu, jika hingga perpanjangan HGU, perusahaan belum membangun 20%, apakah perlu mewajibkan kepastian hukum 20% untuk perpanjangan? Jika tidak memenuhi, apakah HGUnya tidak diperpanjang," imbuhnya.
Kemudian lanjutnya, jika 20% hampir dan belum direalisasikan perusahaan perkebunan dan memperpanjang HGU, maka letak lahan juga menjadi tanda tanya. Sebab, kendala plasma 20% selama ini karena ketersediaan lahan sudah tak ada lagi oleh masyarakat sekitar. Hal ini karena pengaturan 20% itu di ambil di luar konsesi atau mewajibkan masyarakat menyerahkan lahannya.
"Inilah yang menjadi kebingungan kita," tandasnya.







Komentar Via Facebook :