Berita / Nusantara /
Ketua DPRD Rohul: Alokasi DBH Sawit Tak Rasional dan Tak Adil
Ketua DPRD Rohul, Novliwanda Ade Putra. foto: yahya
Pasir Pangaraian, elaeis.co - Alokasi Dana Bagi Hasil (DBH) Sawit yang akan dikucurkan pemerintah pusat kepada daerah penghasil dinilai belum mencerminkan rasa keadilan.
Pasalnya, dalam rancangan Peraturan Pemerintah (PP) yang saat ini tengah dibahas bersama antara Kementerian Keuangan dan DPR-RI, pemerintah pusat hanya akan membagi 4 persen dari total pendapatan bea keluar dan pungutan ekspor kelapa sawit dan produk turunannya ke daerah.
"Ini sangat aneh, kenapa hanya 4% yang dibagihasilkan. Sementara kita tahu pemerintah daerah juga merupakan bagian dari pemerintahan yang menjadi ujung tombak pelayanan terhadap kebutuhan-kebutuhan dasar masyarakat. Kenapa tidak 50% yang dibagihasilkan? Mestinya separuhnya kan," kata Ketua Novliwanda Ade Putra kepada elaeis.co, Rabu (21/6).
Menurutnya, jika dilihat dari draf yang tengah dibahas itu, alokasi bagi hasil sawit 4 persen yang dikucurkan pemerintah pusat dinilai masih sangat kecil bagi daerah penghasil. Terlebih alokasi DBH tersebut tidak seluruhnya akan dibagi ke daerah penghasil, melainkan harus dibagi kepada provinsi dan kabupaten/kota tetangga.
"Ini yang sangat kita kecewakan, padahal angka 4 persen itu sangat-sangat kecil dari total penerimaan negara dari sektor sawit atau ekspor CPO kelapa sawit dan produk turunannya. Dan saya kira itu tidak sebanding dengan anggaran yang dibutuhkan daerah mengatasi kerusakan infrastruktur seperti jalan yang diakibatkan industri kelapa sawit di Rohul," tandasnya.
Selain dianggap belum rasional dan berkeadilan, salah satu persoalan yang nantinya akan dihadapi dalam penyaluran DBH Sawit itu terkait basis data yang digunakan dalam menentukan besaran DBH sawit ke daerah mengingat belum adanya kesamaan data baik dari BPS, pemerintah daerah, KLHK, ATR/BPN, dan juga Kementerian Pertanian terkait luasan kebun sawit.
"Data luasan sawit ini juga akan menjadi bias sebab ada perbedaan data luasan yang cukup signifikan antara data yang dimiliki pemerintah daerah, BPS, ATR/BPN dan Kementerian lainnya. Data siapa yang akan dipakai?" tukasnya.
Dia juga mempertanyakan terkait kategori produktivitas lahan yang erat kaitannya dengan legalitas atau perizinan dari pabrik atau perkebunan kelapa sawit. Jika tidak ada kesamaan data untuk menghitung luasan perkebunan kelapa sawit, baik yang memiliki izin ataupun yang tidak memiliki izin, tentunya hal tersebut akan menjadi perdebatan panjang.
Karena itu dia meminta pemerintah daerah segera melakukan inventarisasi data dan informasi yang valid mengenai perkebunan atau lahan yang sudah memiliki izin atau legalitas maupun yang non-perizinan.
"Data ini tentunya akan sangat krusial dalam rangka meningkatkan bagi hasil atau pendapatan bagi daerah kita dari sektor perkebunan. Derusahaan non-perizinan bisa didorong segera mengurus izinnya," ujar Politisi Gerinda itu.
Seperti diketahui, Kementerian Keuangan telah mengalokasikan DBH Sawit sebesar Rp 3,4 triliun dalam APBN Tahun 2023. Namun penyalurannya masih menunggu diterbitkannya PP tentang DBH Sawit sebagai dasar hukum peraturan pelaksana Undang-undang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD).
Disebutkan bahwa pagu DBH sawit ditetapkan paling rendah sebesar 4% dari penerimaan negara; besaran persentase DBH sawit juga dapat disesuaikan dengan memperhatikan kemampuan keuangan negara; serta dalam kondisi tertentu pemerintah dapat menetapkan alokasi minimum DBH sawit nasional. Peruntukan DBH sawit tersebut dibagikan kepada provinsi yang bersangkutan sebesar 20%, Kabupaten/Kota penghasil sebesar 60% dan Kabupaten/Kota lainya yang berbatasan langsung dengan daerah penghasil sebesar 20%.







Komentar Via Facebook :