https://www.elaeis.co

Berita / Internasional /

Kerja Sama REDD Berakhir, Dua Pakar Ini Ngakak

Kerja Sama REDD Berakhir, Dua Pakar Ini Ngakak

Ilustrasi (menlhk.go.id)


Jakarta, Elaeis.co - Melalui situs resmi Kementerian Luar Negeri, Jumat (10/9/2021), Pemerintah RI menyatakan telah mengakhiri Pernyataan Kehendak (Letter of Intent/LoI) dengan Kerajaan Norwegia tentang Kerja Sama Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (Reducing Greenhouse Gas Emissions from Deforestation and, Forest Degradation/REDD+), terhitung mulai tanggal 10 September 2021.

Saat Elaeis.co meminta tanggapan terkait hal ini, Sabtu (11/9/2021), founder dan Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI), Dr Ir Tungkot Sipayung, dan Prof Dr Ir Sudarsono MSc dari Institut Pertanian Bogor (IPB) justru terbahak-bahak. 

"Ha...ha..ha, dari dulu kan sudah kita ingatkan, Eropa itu maunya menang sendiri, Eropa itu tidak bisa dipercaya. Apa yang sudah dijanjikan enggak pernah ditunaikan Eropa," kata Tungkot.

Dusta itu, kata Tungkot, bukan hanya terkait REDD II, namun juga terkait sektor lainnya. 

"Suka-suka mereka saja membikin kebijakan. Bahkan Amerika Serikat yang merupakan negara adidaya mau menggugat mereka di lembaga multilateral seperti WTO toh," kata Tungkot.

Khusus untuk Norwegia, Tungkot menyebutkan negara itu hanya pura-pura saja mau menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK). Padahal Norwegia adalah penyumbang terbesar emisi GRK. 

"Bukankah mereka adalah eksportir minyak fosil terbesar. Dan itu membuat mereka menjadi penyumbang emisi GRK terbesar di dunia, dan tiba-tiba menjanjikan sesuatu ke negara lain kalau mau menurunkan emisi GRK. Itu egois namanya," kata Tungkot.

Prof Sudarsono, juga merasa lucu soal sikap Norwegia itu. "Saya juga dari awal bertanya, REDD ini mau ngapain sesungguhnya. Urusan dengan karbon itu kan lebih banyak ngomongnya ketimbang aksi riilnya. Itu yang sesungguhnya terjadi," kata Sudarsono. 

Jika menurut Norwegia Indonesia berhasil atau tidak menurunkan karbon, Sudarsono melihat aksi dan hasilnya justru tidak ada. Dan hal ini juga terjadi di semua hutan di dunia. 

"Soal urusan karbon ini menurut saya lebih banyak calo yang bermain di sini. Ini mau dibayar sekian yang ini dibayar sekian, yang mana karbonnya? Masih gelap yang namanya pasar karbon ini. Makanya saya bilang banyak calo yang bermain di sini," kata Sudarsono.  

Ia mengaku sudah bertanya ke berbagai pihak, termasuk koleganya, tentang pasar karbon ini. Ia mendengar perdagangan soal karbon itu memang ada. Ia lalu memberi contoh yang dikaitkan dengan hutan.

"Contoh hutan saya rusak, karbonnya juga tinggal 10. Lalu saya jagain, saya rawat, dan simpanan karbonnya bertambah 5. Tolonglah itu dihargai, per tonnya berapa dan untuk jangka berapa tahun. Kira-kira begitu," kata Sudarsono.

Namun yang jadi persoalan adalah mekanisme, verifikasi, dan hal lain yang terkait karbon itu sangat rumit. Dan yang melakukan semua proses itu adalah pihak Eropa itu sendiri. 

"Yang menentukan itu adalah lembaga-lembaga internasional yang isinya orang-orang bule semua. Jadi, ini adalah orang-orang bule pengangguran yang ingin dapat duit secara gampang," kata Sudarsono. 

Sebagai informasi, dalam situs Kementerian Luar Negeri tersebut pemerintah mengatakan keputusan pengakhiran kerjasama itu diambil melalui proses konsultasi intensif dan mempertimbangkan tidak adanya kemajuan konkret dalam implementasi kewajiban pemerintah Norwegia untuk merealisasikan pembayaran Result Based Payment (RBP) atas realisasi pengurangan emisi Indonesia sebesar 11,2 juta ton CO2eq pada tahun 2016/2017, yang telah diverifikasi oleh lembaga internasional.

Pemutusan kerjasama REDD+, tidak akan berpengaruh sama sekali terhadap komitmen Indonesia bagi pemenuhan target pengurangan emisi.

BACA BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Komentar Via Facebook :