Berita / Nasional /
Kementan Ingatkan Pemda Soal Plasma Sawit: Jangan Lepas Tangan
Direktur Tanaman Kelapa Sawit dan Aneka Palma Kementan, Baginda Siagian.
Jakarta, elaeis.co – Kementerian Pertanian (Kementan) Republik Indonesia menegaskan bahwa kewajiban perusahaan perkebunan kelapa sawit dalam merealisasikan kebun plasma bagi masyarakat tidak boleh diabaikan, meski menghadapi keterbatasan lahan di beberapa wilayah, termasuk Kalimantan Tengah.
Direktur Tanaman Kelapa Sawit dan Aneka Palma Kementan, Baginda Siagian, menekankan pentingnya keterlibatan pemerintah daerah dalam memastikan target plasma terpenuhi.
Baginda menjelaskan, perusahaan yang belum memenuhi kewajiban plasma 20 persen wajib terlebih dahulu mengidentifikasi ketersediaan lahan untuk masyarakat.
“Mereka harus melihat dulu, masih ada atau tidak lahan 20 persen itu. Kalau memang tidak ada, maka bisa ditempuh alternatif lain, salah satunya melalui program pengembangan ekonomi produktif seperti SISKA,” ujarnya.
Ia menekankan bahwa keterlibatan perusahaan tidak harus selalu berupa penanaman langsung di atas lahan inti milik perusahaan. Kontribusi dapat dilakukan melalui pola partisipasi lain yang tetap bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar perkebunan.
Hal ini sejalan dengan prinsip fleksibilitas kebijakan yang menyesuaikan kondisi lapangan, tanpa mengesampingkan hak-hak petani plasma.
Data terakhir menunjukkan bahwa realisasi plasma di Kalimantan Tengah baru mencapai kisaran 52 persen. Baginda menilai percepatan realisasi plasma sangat bergantung pada peran pemerintah daerah sebagai pemberi izin.
“Yang belum ya harus dilengkapi. Kami di pusat hanya bisa mengimbau. Kuncinya ada di kepala daerah untuk mendorong percepatan realisasi plasma,” jelasnya.
Ia mengakui bahwa hambatan di lapangan tidak bisa dihindari, mulai dari keterbatasan lahan hingga persoalan administrasi. Namun, Baginda menekankan bahwa solusi berbasis lokal justru lebih efektif menyelesaikan persoalan plasma di masing-masing daerah.
Dengan koordinasi yang baik antara perusahaan, pemerintah daerah, dan masyarakat, target plasma dapat dicapai tanpa menimbulkan konflik kepentingan.
Terkait program Sistem Integrasi Sapi Sawit (SISKA), Baginda menegaskan bahwa skema ini bukanlah pengganti plasma. SISKA muncul sebagai alternatif kebijakan ketika ketersediaan lahan masyarakat sudah tidak memungkinkan untuk dikembangkan sebagai kebun plasma.
“Kalau lahannya memang tidak ada, jangan dipaksakan. Itu justru keliru. Ketentuannya sudah mengatur bahwa perusahaan boleh mengembangkan usaha produktif lain. Tujuannya sama, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, hanya caranya yang berbeda,” tegasnya.
Baginda menambahkan, jika perusahaan masih memiliki lahan yang memungkinkan untuk plasma, maka harus ada kesepakatan bersama dengan masyarakat dan melalui proses pengalihan status lahan sesuai aturan yang berlaku. Meski proses ini memerlukan waktu, prinsipnya adalah plasma tetap menjadi kewajiban utama. SISKA atau usaha produktif lain hanya menjadi opsi, bukan pengganti.
Menurut Baginda, plasma bukan sekadar kewajiban administratif perusahaan, melainkan fondasi kesejahteraan masyarakat pedesaan yang menggantungkan hidup pada perkebunan sawit.
Dengan dukungan aktif pemerintah daerah, target plasma bisa tercapai, meningkatkan produktivitas dan menjaga hubungan harmonis antara perusahaan dan komunitas lokal.
“Plasma tetap menjadi kewajiban. SISKA atau usaha produktif lainnya adalah alternatif, bukan pengganti tujuan utama, yaitu kesejahteraan masyarakat,” pungkas Baginda.
Pesan ini menjadi pengingat bagi seluruh pemda agar tidak melepas tangan dalam pengelolaan plasma sawit, demi keberlanjutan industri dan kesejahteraan rakyat.







Komentar Via Facebook :