Berita / Bisnis /
Kemendag Sukses Bikin Harga TBS Rontok!
Ketua Harian DPP Apkasindo, Gus Dalhari Harahap. foto: dok. pribadi
Jakarta, elaeis.co - Umbarno cuma bisa menarik napas panjang setelah mendapat kabar kalau kemarin, di Pabrik Kelapa Sawit (PKS) PT. Berlian Inti Mekar (BIM) tempat dia menjual Tandan Buah Segar (TBS), harga sudah turun Rp200.
Di tempat lain kata Ketua Kelompok Tani Setia Rukun di Dayun Kabupaten Siak, Riau ini, malah lebih parah lagi, turun hingga Rp800.
Omongan Umbarno ini benar saja. Di Musi Banyuasin Sumatera Selatan (Sumsel), PKS PT. Bastian Olah Sawit (BOS) sudah mematok harga TBS menjadi Rp2.220. Padahal sebelumnya masih Rp3.220.
Ketua Harian Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (DPP-Apkasindo), Gus Dalhari Harahap menyebut kalau rontoknya harga TBS itu ulah kebijakan Kementerian Perdagangan membikin Domestic Market Obligation (DMO) dan Domestic Price Obligation (DPO) yang serampangan.
Dibilang serampangan lantaran aturan itu enggak didahului dengan data akurat. Misalnya, data berapa kebutuhan dan distribusi minyak goreng (migor) di seluruh provinsi yang ada di Indonesia.
"Terus, pembebanan target 20% dari produksi ekspor kepada 17 perusahaan refinery itu juga tidak jelas. Alhasil, kacaulah semua," ujarnya.
Yang membikin ayah tiga anak ini geli, "Pemerintah kelihatan ingin mengintervensi pasar. Enggak akan bisalah. Pasar minyak sawit itu sangat bergantung pada mekanisme pasar dunia lho," katanya saat berbincang dengan elaeis.co tadi malam.
Baca juga: Malapetaka Aturan Kemendag
Di sisi lain, kebijakan DMO dan DPO ini langsung 'diterkam' oleh buyer CPO lokal yang notabene para pemain refinery tadi. Sebab bagi mereka kata Gus, kebijakan Kemendag ini adalah sumber cuan yang berlipat ganda.
Saking ngilernya, para buyer ini langsung curi start dan 'mendirikan' kartel, tapi kepada para penjual CPO, mereka memasang mimik seolah-olah telah terzalimi oleh kebijakan DMO dan DPO itu.
"Biar kesan terzalimi itu kuat, buyer membikin kebijakan satu harga CPO lokal; harga DPO Rp9.300. Ingat, DMO dan DPO itu berlaku sejak 1 Februri 2022. Sebab di saat itulah berlaku tiga macam Harga Ecerean Tertinggi (HET) migor," ujar Gus.
Mestinya kata Gus, sebelum aturan DMO dan DPO itu diberlakukan, pemerintah khususnya Kemendag, sudah mengantongi data valid berapa sesungguhnya ekspor 17 perusahaan refinery itu.
Data-data ini kemudian divalidasi untuk mengambil kewajiban 20% DMO tadi. Dengan cara seperti ini, harga CPO versi DMO dan harga CPO mekanisme pasar akan nampak terbedakan. Biar komplit, label DMO juga musti dibikin pada kemasan migor domestik.
Setelah ini beres, migor domestik tadi kemudian didistribusikan ke Bulog sebagai penyanggah.
"Ingat, selama ini Bulog adalah lembaga distribusi yang sudah sampai ke kabupaten kota. Artinya, dengan melibatkan Bulog dan pemda maupun pemko, distribusi migor pasti beres," tambahnya.
Sekarang kata Gus, apa ada jaminan produk perusahaan refinery itu dibuatkan untuk subsidi? "Wong antara minyak subsidi dan tidak subsidi enggak ada beda kemasannya kok," katanya.
Dua hari lalu, persis sehari setelah pengumuman DMO dan DPO itu, harga CPO di pasar lokal langsung bergejolak.
Ini terjadi lantaran Buyer yang notabene pemilik refinery minyak goreng itu menebar tender pembelian CPO lokal yang gila-gilaan.
Di Belawan misalnya, Sinar Mas mematok harga Rp11 ribu, Best Rp10 ribu, Musim Mas Rp8.455 dan Ctr Rp15.402.
Di Dumai, SIIP Rp13.400, IMT Rp11 ribu, IBP Rp8.455, PMA Rp14 ribu dan Ctr Rp15.402. Hanya saja semua harga pembelian itu tidak diterima alias WithDraw (WD) oleh penjual yang notabene PT Perkebunan Nusantara 3 dan 5.
Harga itu tidak di-accept lantaran sehari sebelumnya harga lokal CPO masih tinggi, masih di atas Rp15 ribu per kilogramnya. Dan Ideal price list dalam negeri masih Rp15.402.
"Perusahaan yang menawar itu, rata-rata pemain refinery. Mereka membikin harga seperti itu dengan dalih adanya pembebanan dari DMO. Padahal sesungguhnya enggak begitu," ujar Gus.
Gus menerangkan bahwa DMO itu adalah total ekspor dikurangi 20%. Baik itu untuk CPO maupun Olein. Lantaran aturan main DMO-nya seperti itu, mestinya kata Gus, harga pasar diberlakukan dulu baru dikurangi dengan yang 20% itu.
"Ini kan enggak, pokoknya price list yang ditebar itu ya semuanya untuk DMO. Kalau kayak begini ceritanya, untung mereka gila-gilaan lho. Dari minyak goreng mereka sudah untung, apalagi ekspor yang notabene harga internasional justru naik terus. Untungnya gila-gilaan," ujarnya.
Gus kemudian membikin contoh. Harga DPO CPO Rp9.300, sementara harga CPO dunia sekitar Rp15.400. "Ini selisihnya sudah sekitar Rp6000. Ambil saja minimal cargo ekspor 6000 ton. 6.000.000 x Rp6000, sudah berapa untungnya," Gus menghitung. Itu baru dari CPO, belum lagi dari Olein. Hayyaaaa...
Perusahaan yang menawarkan harga CPO lokal itu belum ada yang merespon pertanyaan elaeis.co kenapa mereka membikin harga penawaran seperti itu.







Komentar Via Facebook :