https://www.elaeis.co

Berita / Pojok /

Kemanusiaan Terapung

Kemanusiaan Terapung

RSA dr. Lie Dharmawan. foto: toptime.co.id


Dulu pernah diharapkan menjadi dokter, dan menghibur diri karena setidaknya bisa jadi doktor.  

Mungkin karena kakek memang seorang dokter sejak tahun 1920an, dan ternyata tidak ada satupun cucunya yang mengikuti jalan profesi itu. 

Hiburan lain mungkin adalah --- seperti yang pernah ditulis teman wartawan The Jakarta Post --- kakeknya dulu menangani wabah pes di Lombok, cucunya kemudian menjadi ‘Indonesian sentinel’ menangani wabah flu burung.

Atas nama kemanusiaan dan prinsip menolong manusia yang membutuhkan tanpa membedakan kelompok, bangsa, ras, atau apapun; dokter mungkin profesi yang paling dapat tetap merdeka dalam pikiran dan sikap di tengah situasi yang terburuk sekalipun.  

Baca juga: Pertumbuhan Tanpa Pembangunan

Dan hal itu telah ditunjukkan oleh kisah nyata para dokter yang melegenda dan terus menginspirasi.

Misalnya, kisah dokter Dwarkanath Kotnis. Dokter muda berusia 28 tahun dari India itu, berangkat dan tiba di Wuhan tahun 1938 ketika masa invasi Jepang ke China. 

Pertempuran terjadi di mana-mana, dan dalam kondisi serba penuh keterbatasan, dokter Kotni sendirian tanpa kenal lelah --- diceritakan kadang tidak tidur berhari-hari --- tercatat telah membantu dan melakukan operasi lebih dari 800 orang tentara dan rakyat China.  

Dokter Kotnis kemudian meninggal karena sakit tahun 1942, dan dimakamkan di China sebagai pahlawan. 

Mengenang Kotnis, Mao Zedong mengatakan bahwa; tentara kehilangan tangan yang membantu, rakyat kehilangan seorang teman.

Saat ini patung Kotnis berdiri di Shijazhuang, Hebei, China dan juga di tanah kelahirannya, di Solapur, India; dan tahun 1990an kedua negara sama-sama menerbitkan perangko untuk memperingati Kotnis. 

Hingga sekarang, kisah Dokter Kotnis itu selalu menjadi bahan diplomasi kerjasama di antara kedua negara besar itu.

Di Indonesia, kisah para dokter juga tidak kalah inspiratif.  Awalnya --- di masa penjajahan VOC Belanda --- tidak ada orang Indonesia yang menjadi dokter.  

Namun kebutuhan yang mendesak memaksa penjajah untuk mendidik warga pribumi dengan pengetahuan kesehatan. 

Pelopornya adalah Sekolah Dokter Djawa yang dibuka pada 1851, yang ditujukan sebagai sekolah khusus petugas vaksin untuk menangani wabah cacar di sepanjang pantai utara Jawa dan wilayah Karesidenan Banyumas.

Diduga alasan sebenarnya adalah agar tidak ada dokter Belanda yang beresiko tertular penyakit berbahaya itu.

Lalu pada 1902, Sekolah Dokter Jawa ditransformasikan ke dalam Stovia, untuk menciptakan tenaga-tenaga medis di berbagai daerah, selain untuk menjalankan rumah sakit tentara. 

Namun, eksplorasi ilmu pengetahuan --- anatomi, fisiologi, dan berbagai ilmu lain --- yang diterima para ‘mahasiswa kedokteran’ itu kemudian membuka cakrawala yang lebih luas: cakrawala kemanusiaan. 

Apalagi setelah lebih memahami lagi kondisi kesehatan dan kondisi bangsa sendiri pada umumnya ketika itu. 

Selanjutnya adalah sejarah perjuangan: para dokter muda itu mendirikan Budi Oetomo, dan juga menjadi pendiri dari organisasi kepemudaan; Jong Java, Jong Sumatera, dan lain-lain. Lahirlah suatu kebangkitan nasional.

Kisah inspiratif lain juga datang dari dokter Lie Dharmawan. Bermula dari dorongan untuk dapat memberikan pelayanan kesehatan bagi masyarakat di berbagai pulau-pulau terpencil Indonesia, dokter Lie mulai menggagas dan membuat Rumah Sakit Apung (RSA) tahun 2009, semua secara mandiri. 

Tahun 2013, dengan kapal kayu kecil model Phinisi, RSA memulai pelayaran perdananya, membawa satu dokter --- dokter Lie sendiri --- dan satu orang perawat. 

Cerita RSA menjadi viral setelah dokter Lie dinobatkan sebagai “Kick-Andy Hero” tahun 2014. Dan hingga sekarang, dokter Lie dan organisasi ‘doctorShare’ nya telah melakukan lebih dari 3000 operasi besar, 5500 operasi kecil, 2500 perawatan gigi, 60 ribu rawat jalan, dan 12 ribu penyuluhan kesehatan.  

Dan saat ini telah ada tiga RSA dan sarana pesawat terbang ‘flying-doctor’ untuk menjangkau pulau-pulau yang jauh secara lebih cepat.  

Semua diadakan dan dibangun secara mandiri dengan dana dan dukungan donasi dari berbagai pihak yang bersimpati dan terinspirasi.

Sayangnya, beberapa hari lalu, Rumah Sakit Apung dokter Lie --- kapal kayu itu --- telah terbakar dan karam dalam perjalanan dari Pulau Tenau, Kupang, NTT menuju ke Torano, Sumbawa Besar, NTB. 

Seluruh awak selamat, tetapi kapal “RSA dr Lie Dharmawan” yang ‘iconic’ itu tenggelam.

Indonesia jelas adalah negara kepulauan, ribuan pulau yang terhubung dengan laut dan samudera. Moda kapal laut dan juga pesawat terbang amphibi memang sudah seharusnya menjadi andalan dan semestinya menjadi bentuk investasi infrastruktur yang serius, termasuk untuk pelayanan kesehatan dan berbagai pelayanan publik lain.

Seharusnya ada banyak rumah sakit apung, ada banyak dokter lain, yang memiliki “visi pelayanan-kesehatan-maritim” seperti itu. 

Dipadukan dengan teknologi terkini: internet of things, virtual reality, drone, renewable solar energy, dan lainnya; rumah sakit terapung plus amphibian flying doctor/ambulance yang memiliki kemampuan mobilitas tinggi dapat menjadi jawaban atas kebutuhan pelayanan kesehatan Nusantara.

Semoga rumah sakit apung yang karam itu segera tergantikan, dan nilai-nilai persatuan dalam kepulauan Indonesia bersama rasa kemanusiaan kita dapat terapung bersamanya.


Bayu Krisnamurthi 
Lahir di Manado 18 Oktober 1964. Doktor ilmu ekonomi pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB). Wakil Menteri Pertanian, Wakil Menteri Perdagangan di era Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono. 

Staf Ahli Menteri Koordinator Perekonomian Bidang Penanggulangan Kemiskinan 2005-2008. Direktur Utama Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) 2015-2017. 

BACA BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Komentar Via Facebook :