Berita / Nasional /
Kebun Sitaan Diserahkan ke BUMN, Mansuetus: Produksi Sawit Indonesia Terancam
Satgas melakukan penertiban kebun sawit dalam kawasan hutan di Kalimantan. foto: ist.
Jakarta, elaeis.co - Pemerintah membentuk Satgas Penertiban Kawasan Hutan untuk menuntaskan persoalan kebun sawit dalam kawasan hutan.
Menteri Kehutanan telah mengeluarkan keputusan nomor 36 tahun 2025 yang berisi daftar ratusan perusahaan perkebunan yang mengelola kawasan hutan tanpa izin. Luas kawasan hutan yang dicaplok total mencapai 317.000 hektare.
Pengamat kelapa sawit, Mansuetus Darto memprediksi, jika benar-benar disita oleh satgas, kemungkinan besar seluruh lahan sawit dalam kawasan hutan itu akan diserahkan pengelolaannya kepada PT Agrinas, BUMN baru yang khusus akan mengelola bisnis sawit. Asumsi ini muncul paska penyerahan pengelolaan lahan sawit PT Duta Palma seluas 210.000 hektare yang disita Kejagung kepada Agrinas.
"Agrinas disulap menjadi BUMN sawit terbesar saat ini yang hampir saja menyamai luasan PTPN yang juga merupakan perusahaan perkebunan sawit BUMN sejak 1970-an. Jika semua perusahaan perkebunan sebagaimana yang ditetapkan oleh Kemenhut dikelola oleh Agrinas, maka Agrinas akan menjadi BUMN sawit Indonesia terbesar," ujar Darto lewat siaran pers yang diterima elaeis.co, Sabtu (15/3).
Jika ini benar-benar terjadi, dia khawatir produksi sawit dan ekspor Indonesia akan anjlok. Berdasarkan data, tahun 2024 produksi sawit indonesia sebesar 52 juta ton, lebih rendah dari 2023 yang mencapai 54 juta ton. Ekspor minyak sawit di tahun 2024 hanya 29 juta ton, lebih rendah dari 2023 sebesar 32 juta ton.
Menurutnya, jika perkebunan yang dianggap bermasalah diambil alih oleh negara, dikhawatirkan perkebunan seluas 317.000 hektar tersebut akan pasif. Jika tidak dikelola dengan baik, maka sawit itu akan rusak. "Prediksi saya, dampak penertiban lahan perusahaan, akan tergerus produksi CPO (crude palm oil) sebesar 1,3 juta ton," sebutnya.
Dampak penertiban lahan sawit dalam kawasan hutan yang totalnya mencapai 3,4 juta hektare tentu lebih dahsyat. "Jika pemerintah agresif menyita tanpa mempertimbangkan dengan matang, dengan cara kekerasan, dengan cara paksa tanpa ruang dialog, maka akan tergerus produksi CPO nasional sebesar 13,6 juta ton," katanya.
Kekhawatirannya itu muncul karena melihat kemampuan negara dalam mengelola perkebunan sawit. Menurutnya, belajar dari PTPN, ada masalah dalam produktivitas dan tidak serius mengelola sawit. Terbukti banyak masalah manajemen di PTPN seperti korupsi dan lain-lain di beberapa tahun terakhir. "Maka kalaupun tetap dikelola oleh negara, sayapun tidak yakin produksi akan lebih baik," tandasnya.
"Pemerintah memacu industri biodiesel dan bahan bakunya tentu dari minyak sawit. Saya memprediksi, untuk kebutuhan B40 akan memakan minyak sawit sekitar 15 juta ton. Jika produksi menurun, maka ekspor akan turun juga dan secara otomatis devisa negara akan berkurang," tambahnya.
Dia melanjutkan, tahun 2024, devisa yang dihasilkan dari sawit sebesar USD 27,76 miliar atau setara dengan Rp 440 triliun.
"Sebagaimana kita ketahui, pendapatan negara hingga februari sudah menurun dibandingkan tahun sebelumnya. Belum lagi saat ini pemerintah menaikkan pajak ekspor dan pungutan ekspor hampir 230 USD/MT. Jika seperti ini, akan merugikan negara sendiri," tukasnya.
Karena itu, dia meminta pemerintah benar-benar mempertimbangkan cara penertiban kawasan hutan dan siapa yang akan mengelolanya.
"Negara perlu mempertimbangkan segalanya. Apalagi banyak BUMN sedang menghadapi banyak masalah khususnya BUMN yang mengelola sumber daya alam. Jangan sampai ingin mengambil kue, tapi rupanya kue yang diambil dan dimakan tersebut membuat sakit perut," pungkasnya.







Komentar Via Facebook :