https://www.elaeis.co

Berita / Sumatera /

Kebun Sawit di Bengkulu Ancam Keberadaan Satwa Dilindungi

Kebun Sawit di Bengkulu Ancam Keberadaan Satwa Dilindungi

Macan Akar (Felis bengalensis) mati di tengah perkebunan sawit di Desa Kota Titik, Kecamatan Pematang Tiga, Kabupaten Bengkulu Tengah, Jumat 2 Februari 2024.


Bengkulu, elaeis.co - Kanopi Hijau Indonesia, sebuah organisasi lingkungan, menyebutkan bahwa kebun sawit yang berada di dekat kawasan hutan di Bengkulu mengancam keberadaan satwa dilindungi. Bahkan belum lama ini pada Jumat 2 Februari 2024 ditemukan seekor Macan Akar (Felis bengalensis) mati di tengah perkebunan sawit di Desa Kota Titik, Kecamatan Pematang Tiga, Kabupaten Bengkulu Tengah. Kejadian ini tentu saja menambah catatan kelam terkait kematian satwa dilindungi di wilayah tersebut.

Ketua Kanopi Hijau Indonesia, Ali Akbar mengatakan, kematian Macan Akar ini membuka diskusi serius tentang dampak beralihnya fungsi hutan menjadi kawasan perkebunan sawit. Bahkan matinya Macan Akar di kawasan perkebunan sawit adalah bukti nyata bahwa satwa dilindungi semakin terancam. 
"Fungsi hujan yang seharusnya melindungi keberlangsungan hidup mereka, kini malah menjadi ancaman," ungkap Ali, Sabtu 3 Februari 2024.

Tidak hanya Macan Akar, belum lama ini, seorang gajah Sumatra juga ditemukan mati tidak jauh dari perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Mukomuko. Kedua kejadian ini menunjukkan bahwa konversi lahan hutan menjadi perkebunan sawit tidak hanya merugikan ekosistem, tetapi juga membahayakan kelangsungan hidup satwa liar.
"Banyak orang menganggap kebun sawit baik, padahal konversi lahan hutan menjadi perkebunan sawit tidak hanya merugikan ekosistem, tetapi juga membahayakan kelangsungan hidup satwa liar seperti macan dan gajah yang jumlahnya saat ini tidak banyak lagi," tuturnya.

Pihak Kanopi Hijau Indonesia menyoroti perlunya evaluasi mendalam terkait praktik perkebunan sawit di Bengkulu. Mereka mendesak pemerintah dan perusahaan terlibat untuk bertanggung jawab terhadap dampak lingkungan yang ditimbulkan.
"Kami berharap pemerintah dan perusahaan terlibat untuk bertanggung jawab terhadap hal itu," ujar Ali.

Dalam pernyataannya, Kanopi Hijau Indonesia tidak hanya menekankan kerugian ekologis, tetapi juga potensi konflik manusia-hewan yang dapat terjadi akibat penangkapan lahan liar untuk perkebunan. Mereka menegaskan bahwa solusi harus mencakup keberlanjutan ekonomi dan keberlangsungan hidup satwa liar.
"Kami ingin pemerintah bisa memberikan solusi, sebab hal ini tidak hanya merugikan ekologis, tetapi juga berpotensi terjadinya konflik manusia-hewan," pungkasnya.

Pemerintah setempat belum memberikan tanggapan resmi terkait temuan ini. Namun, masyarakat dan organisasi lingkungan berharap agar kasus ini menjadi pemicu perubahan dalam regulasi dan pengelolaan lahan, guna melindungi keanekaragaman hayati yang semakin terancam.

BACA BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Komentar Via Facebook :