https://www.elaeis.co

Berita / Feature /

Bagian 1

'Jurus Mabuk' Otoritas Hutan

Kayu log hasil tebangan pekerja 'anak jenderal' yang ditemukan di kawasan Cagar Biosfer Giam Siak Kecil Bukit Batu, Riau. foto: ist


Kalau merunut data yang ditulis beritasatu.com pada Januari 2015, semestinya tak kurang dari 6 juta hektar lahan di Negeri ini sudah bertutupan hutan kembali.

Sebab yang namanya menanam pohon, tentu dan sudah pasti di lahan yang tidak berpohon. Mestinya begitu.  

Nah, luasan 6 juta hektar tadi berdasarkan asumsi, sehektar lahan bisa ditanami 300 pohon. Sementara sampai tahun 2015 itu, dilaporkan sudah lebih dari 1,8 miliar pohon yang ditanam. 

Malah kalau ditambah pula hasil  program tahunan penanaman 1 juta pohon, luasan lahan yang sudah berhutan tadi akan terus bertambah. 

Tapi yang menjadi aneh adalah, dua bulan lalu peneliti Bappenas Pungky Widarto cerita bahwa di Indonesia ada sekitar 14 juta hektar lahan terlantar!

Luasan ini bagian dari 34 juta hektar kawasan hutan yang tidak berhutan lagi. Dan, luasan 34 juta hektar tadi adalah bagian dari 128 juta hektar total kawasan hutan Indonesia. 

Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dalam statistik 2015 lalu mengurai bahwa yang 128 juta hektar tadi antara lain; 

Sekitar 27,4 juta hektar Kawasan Hutan Konservasi, 29,7 juta hektar Hutan Lindung, 26,8 juta hektar Hutan Produksi Terbatas (HPT), 29,3 juta hektar Hutan Produksi dan 12,9 juta hektar Kawasan Hutan Konversi. 

Pertanyaan yang kemudian muncul, dimana semua pohon yang sudah ditanam itu? Sebab kalau ditanam sebelum tahun 2015, minimal umur tanaman itu sekarang sudah 7 tahun. Umur ini melebihi satu daur tanaman akasia yang hanya sekitar 6 tahun. 

Tapi saat pertanyaan itu belum terjawab, data lain sudah muncul pula. Bahwa dari 2004 sampai 2017, ternyata sudah 2,4 juta hektar tutupan hutan digunduli korporasi untuk jadi perkebunan. 

Mereka menggunduli atas perintah otoritas kehutanan yang tertuang dalam surat keputusan pelepasan hutan itu. 

Adapun yang 2,4 juta hektar tadi, MS Kaban (2004-2009) ngasi sekitar 600 ribu hektar, Zulkifli Hasan (2009-2014) 1,6 juta hektar dan Siti Nurbaya (2014-2017) 216 ribu hektar. 

Surat keputusan menggunduli hutan untuk Hutan Tanaman Industri dan Hak Pengusahaan Hutan (HPH), lebih banyak lagi. 

Masih data KLHK, dari tahun 1992 hingga 2017, sudah lebih dari 10 juta hektar tutupan hutan digunduli korporasi HTI. 

Kalau ditengok dari total luasan yang disuruh digunduli tadi, semestinya otoritas kehutanan sudah beunghar alias berkantong tebal.

Sebab hasil pungutan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), Provisi Sumber Daya Alam-Dana Reboisasi, melimpah ruah meski barang kali tidak sebanyak hasil hitung-hitungan yang sudah dibikin untuk meng-ultimum remidium orang-orang yang dianggap bersalah di klaim kawasan hutan versi Undang-Undang Cipta Kerja.

Namun duit sebanyak itu sangat bisalah untuk menyiapkan dan membayar 'pasukan' yang mumpuni untuk menjaga hutan konservasi, lindung dan sejenisnya. 

Untuk jumlah SDM agaknya enggak ada masalah, sebab sampai sekarang Sekolah Kehutanan Menengah Atas (SKMA) masih bertebaran di mana-mana. Sekolah itu sudah ada sejak Timor Leste belum merdeka.    
 
Tapi apa yang terjadi kemudian, miris! Dimana-mana hutan konservasi, hutan lindung dan sejenisnya digunduli orang. Ada yang berbacking dengan menyebut diri "Anak Jenderal" dan ada pula yang cuma bermodal mental petarung.   

Penyebabnya sepele, jumlah penjaga hutan yang  sangat minim membikin sederet oknum dengan leluasa menggunduli hutan.

Tengok saja yang terjadi di Riau, Kawasan Suaka Margasatwa Rimbang Bukit Baling --- baik yang sebelah Riau maupun sebelah Sumatera Barat --- Bukit Betabuh, Cagar Biosfer Giam Siak Kecil, Kerumutan dan Bahkan Bukit Tigapuluh --- baik yang sebelah Riau maupun Jambi --- jadi bulan-bulanan. 

Tak patuhnya otoritas kehutanan kepada undang-undang terkait penunjukan hingga pengukuhan kawasan-kawasan itu membikin masalah kian rumit.

Demi melanjutkan hidup dan kehidupannya, tanpa sadar rakyat merangsek masuk ke zona kawasan tadi lantaran mereka tidak tahu itu kawasan hutan konservasi atau hutan lindung. Sudahlah tak dijaga, tak ada batas dan tanda batas yang jelas  

Celakanya, meski tak mampu menjaga hutan dan doyan menyuruh korporasi menebangi hutan, birahi otoritas kehutanan ini untuk terus mengklaim lahan-lahan menjadi kawasan hutan, sangat besar, nyaris bisa dibilang maniak. 

Disebut begitu lantaran mau yang tak bertutupan hutan, punya orang, kampung, bahkan kota, otoritas ini tak perduli. Pokoknya kalau hamparan tertentu sudah ditunjuk jadi kawasan hutan, hantu pun tak boleh protes! 

Hadirnya UUCK membikin otoritas kehutanan ini semakin 'bagak' alias kuat. Sebab kawasan hutan yang diklaim tak jelas tadi, menjadi halal di UUCK itu.

Dibilang diklaim tak jelas lantaran meski hanya sekadar ditunjuk --- tidak sesuai dengan pasal 14 dan 15 Undang-Undang 41 tahun 1999 --- klaim itu berlaku. Tengok lah bahasa yang muncul dari pasal 25-29 PP 23 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan. 

Kawasan hutan sebelum dan sesudah ditunjuk, menjadi ampuh menghadang pelegitimasian tanah rakyat. Padahal sebelum dan sesudah ditunjuk ini, sudah dihukum mati oleh putusan MK 35 tahun 2011.

Namun oleh kebagakan tadi, siapapun yang berada di klaim kawasan hutan ala otoritas kehutanan itu, dianggap bersalah dan wajib membayar denda apabila masih mau berada di sana. Busyeeeet...!  

Bersambung...



 

BACA BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Komentar Via Facebook :