https://www.elaeis.co

Berita / Nasional /

Jangan Sampai Jadi Buruh dan Penonton di Negeri Sendiri

Jangan Sampai Jadi Buruh dan Penonton di Negeri Sendiri

Ketua DPD I Aspek-PIR Riau, Sutoyo. (Istimewa)


Pekanbaru, elaeis.co - Aspek-PIR Indonesia khawatir jika generasi muda hanya akan menjadi buruh dan penonton di negeri sendiri. Kekhawatiran itu menyusul sempitnya lahan untuk berkebun.

Sudahlah sempit, lahan itu kini juga dalam pengawasan pemerintah yakni masuk atau tidaknya dalam kawasan hutan.

Seperti yang berkembang saat ini, KLHK tegas tidak akan memberikan pengampunan bagi kepemilikan perkebunan kelapa sawit di kawasan hutan. 

Penegasan ini disampaikan langsung oleh Sekjen KLHK, Bambang Hendroyono, dalam sosialisasi implementasi UU Cipta Kerja Nomor 11 Tahun 2020 dan PP 24 Tahun 2021 di Polda Riau belum lama ini. Dimana pendekatan hukum yang digunakan adalah ultimum remedium atau mengedepankan sanksi administratif. 

Namun bukan berarti sanksi hukum hilang begitu saja. Pengenaan sanksi administratif digunakan untuk memberi ruang bagi kelompok masyarakat yang berada di dalam kawasan, contohnya akibat perubahan tata ruang, kebijakan ijin lokasi yang dikeluarkan Pemda, dan juga kelompok rakyat kecil yang telah bermukim lima tahun berturut-turut.

Untuk masyarakat kecil atau kelompok tani yang anggotanya hanya menguasai lahan di bawah 5 hektare dan bertempat tinggal lima tahun berturut-turut di dalam atau sekitar kawasan hutan, maka pada mereka tidak dikenakan sanksi administratif dan diberikan solusi dalam bentuk akses legal melalui penataan kawasan hutan, bisa dalam bentuk perhutanan sosial dan TORA.

Menurut Ketua DPD I Aspek-PIR Riau, Sutoyo, sebenarnya UUCK diterbitkan untuk menentukan hak atas penguasaan lahan. Dimana ada dua kategori yakni dikelola oleh korporasi dan masyarakat petani.

"Dari pandangan kita jika korporasi yang telah terlanjur membuka lahan di kawasan, silahkan terapkan sanksi baik itu administrasi maupun pidana," kata Sutoyo kepada elaeis.co, Senin (19/9).

Sebab, lanjut Sutoyo, lahan korporasi tentu sangat luas. Sedangkan petani biasanya menggarap lahan lantaran lahan yang ada sudah diberikan kepada korporasi (HGU,red) oleh pejabat pemberi izin. 

Malah terkadang tidak menghiraukan apakah ada petani lokal atau masyarakat adat di dalam pemberian HGU itu. Bahkan tidak sedikit lahan para petani diserobot oleh korporasi yang mendapatkan izin HGU. 

"Jangan sampai negara justru berpihak dan hanya memperkaya  korporasi. Sebab UUCK seharusnya mengatur negara hadir memberikan kesempatan terakhir bagi warga negaranya untuk bisa memiliki kebun sebagai sumber penghidupan minimal 10 hektare untuk bisa hidup layak," paparnya.

Ia berharap ketegasan KLHK dapat terwujud yakni tidak ada ampunan bagi korporasi. Kemudian lahan kembali dihutankan atau dibagikan kepada masyarkat sekitar agar kesejahteraan warga negara benar-benar terwujud.

"Kalau tidak dimulai dari sekarang anak cucu kita akan jadi buruh atau jadi penonton di negeri sendiri," pungkasnya.

BACA BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Komentar Via Facebook :