Berita / Nusantara /
Izin 35 Perusahaan Perkebunan Sawit Diusulkan Dicabut
Tanah Suku Yerisiam Gua di Papua yang sudah dialihfungsikan menjadi kebun sawit (Dok. Awas MIFEE)
Jakarta, Elaeis.co - Sejak tahun 2019 hingga 2021, Pemerintah Provinsi Papua dan Tim Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas PK) dari KPK melakukan kajian perizinan perusahaan perkebunan kelapa sawit.
Dalam webinar #roadtowakatobi bertema ‘Peluang dan Harapan dari pelaksanaan Program Strategis Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas PK) Evaluasi Perizinan Kebun Kelapa Sawit di Provinsi Papua’, Mohammad Isro dari Sekretariat Stranas PK menjelaskan, setiap dua tahun disusun Aksi Pencegahan Korupsi (PK) berdasarkan hasil pemetaan dan kajian. Pada Aksi PK 2021-2022, salah satu aksi lanjutan adalah kepastian percepatan perizinan SDA melalui implementasi kebijakan satu peta, termasuk di Provinsi Papua.
“Kebijakan satu peta dapat dijadikan sebagai satu alat untuk mendorong adanya penyelesaian tumpang tindih dan perbaikan tata kelola sawit” katanya, dikutip Pusaka.or.id, kemarin.
Beberapa temuan kajian Stranas PK, antara lain kepemilikan banyak lahan sawit oleh orang tertentu, terjadi tumpang tindih izin, ada Surat Keputusan (SK) tapi tidak ada lampiran petanya, dan ada juga yang tidak ada SK-nya.
Asisten II Gubernur Provinsi Papua Bidang Pembangunan dan Kesejahteraan Rakyat, Dr Drs Mohammad Musa’ad Msi, mengatakan, Pemprov Papua telah melakukan evaluasi dan kajian perijinan, inventarisasi, dan verifikasi terhadap perizinan 62 perusahaan kelapa sawit yang tersebar di delapan kabupaten.
“Hasilnya ada dua. Salah satunya, Pemprov Papua mengusulkan pencabutan dan penghapusan izin dari daftar pemegang izin untuk 35 perusahaan. Kalau dikonversi, luasannya mencapai 522.397 hektar dari jumlah keseluruhan 989.678 hektar,” katanya.
Alasan pencabutan izin karena adanya temuan permasalahan tumpang tindih lahan. “Ada overlapping perizinan, banyak perizinan berada dalam satu wilayah yang sama. Ada juga yang antar kawasan, ada yang tidak memenuhi atau tidak mengikuti RTRW,” jelasnya.
Hasil evaluasi kedua, pemerintah melakukan tindakan korektif administratif terhadap 19 perusahaan, melakukan penataan kembali, perbaikan tata kelola, penyelarasan, penyesuaian, dan penyempurnaan terhadap tuntutan administratif yang harus dipenuhi oleh perusahaan tersebut. “Perizinan perusahaan-perusahaan ini masih bisa diperbaiki,” sebutnya.
Menurutnya, pasca pencabutan izin, optimalisasi pemanfaatan lahan bisa dilakukan dengan mengembalikan hak-hak masyarakat adat. Visi pembangunan berkelanjutan Papua diantaranya memberikan kesempatan yang luas bagi Orang Asli Papua (OAP), termasuk dalam hal mengakui dan menghormati hak OAP dalam penguasaan, pengelolaan, dan pemanfaatan tanah dan kekayaan alam, sebagaimana tertuang dalam UU Nomor 21/2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua.
“Provinsi Papua agak berbeda dengan provinisi lain. Di Papua ini tidak ada tanah yang tidak bertuan, semua ada yang punya. Kalau ini bisa kita kembalikan hak kepada yang punya, ini di satu sisi ada kesyukuran besar bagi yang punya karena mendapatkan kembali haknya yaitu masyarakat adat,” katanya.
Pemulihan dan penguatan hak masyarakat pasca pencabutan izin didukung oleh Prof Dr Ir Hariadi Kartodiharjo MS, nara sumber ahli dari Stranas PK. “Masyarakat harus mendapatkan perlindungan dari perizinan baru. Pemerintah melalui SK Bupati untuk menetapkan wilayah indikatif hutan adat sudah cukup untuk mengamankan wilayah adat dari perijinan baru,” katanya.







Komentar Via Facebook :