Berita / Nasional /
IPB Tegaskan Denda Sawit di PP 45/2025 Butuh Kepastian Hukum
Ilustrasi - tanaman kelapa sawit.
Jakarta, elaeis.co - Terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 45 Tahun 2025, pengganti PP 24 Tahun 2021, memicu perdebatan serius di dunia perkebunan sawit.
Aturan ini menetapkan denda hingga Rp 25 juta per hektar per tahun dan memberikan kewenangan lebih luas bagi Satgas Penertiban Kawasan Hutan (PKH). Banyak pihak, terutama petani dan investor, merasa aturan ini menimbulkan ketidakpastian hukum.
Guru Besar IPB Bidang Kebijakan dan Tata Kelola SDA, Budi Mulyanto, menilai aturan baru ini justru membuat situasi lebih menekan.
“Satgas PKH kini bisa melakukan penguasaan kembali lahan, paksaan administratif, mencabut izin, memblokir rekening, bahkan melarang orang keluar negeri. Bahkan jika denda dibayar, lahan tetap bisa diambil. Ini jelas bikin pelaku industri dan petani cemas,” ungkap Budi dalam keterangan, Sabtu (4/10).
Besaran denda Rp 25 juta per hektar per tahun juga menjadi sorotan. Menurut Budi, angka ini jauh lebih tinggi dibanding PP sebelumnya, bahkan lima sampai tujuh kali lipat.
“Banyak yang menyebut denda ini terlalu berat dan bisa menekan industri sawit. Ini bukan cuma menimbulkan kekhawatiran, tapi juga memengaruhi citra investasi di Indonesia,” tambahnya.
Budi mempertanyakan dasar perhitungan angka tersebut. Seharusnya denda dihitung berdasarkan nilai ekonomi lahan dan produktivitas tanaman, bukan ditentukan begitu saja.
Ia menegaskan akar persoalannya lebih luas yakni penetapan kawasan hutan yang tidak sesuai prosedur UU Kehutanan.
“Seharusnya sebelum tanah dinyatakan kawasan hutan, dilakukan survei sosial, ekonomi, dan kepemilikan tanah masyarakat. Faktanya, banyak tanah rakyat, desa, transmigrasi, bahkan HGU lama ikut masuk kawasan hutan. Ini menyebabkan banyak kebun sawit dianggap melanggar aturan,” jelas Budi.
Dampaknya bukan hanya untuk perusahaan besar, tapi juga masyarakat biasa yang kebunnya masuk kawasan hutan bisa terkena denda.
“Hukum berlaku untuk semua, tapi banyak tanah rakyat dikelola jauh sebelum kawasan hutan ditetapkan. Ini jelas mengabaikan hak-hak masyarakat dan bertentangan dengan UU Pokok Agraria,” ujarnya.
Budi berharap pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto melakukan revisi peta kawasan hutan yang transparan dan partisipatif, melibatkan masyarakat, pemerintah daerah, dan aparat hukum.
Dengan begitu, batas kawasan hutan menjadi jelas, tanah rakyat terlindungi, dan industri sawit bisa berjalan tanpa hambatan.
Hingga kini, Satgas PKH telah menguasai kembali lebih dari 3 juta hektare lahan ilegal, sebagian diserahkan ke kementerian terkait, sebagian dikelola produktif, dan sebagian menjadi kawasan konservasi.
Ketua Satgas, Febrie Adriansyah, menegaskan penertiban fokus pada penguasaan lahan oleh negara. Namun, bila ada pihak yang menghambat, penegakan hukum pidana bisa diterapkan, termasuk melalui UU Tindak Pidana Korupsi dan Pencucian Uang.
Dengan kepastian hukum yang jelas, petani, perusahaan, dan masyarakat bisa terlindungi. Di sisi lain, investor pun lebih percaya diri, sehingga industri sawit Indonesia tetap berkelanjutan dan memberikan manfaat ekonomi yang luas.







Komentar Via Facebook :